Monday, March 30, 2020

REUNI OH REUNI

SUHU DOMINO
6100GAME - “Mau nunggu di sini atau ikut naik?”tawarku.

Ia tampak bimbang. Pagi itu lobby hotel penuh dengan tetamu, sementara kursi di lobby pun penuh.

“Sudah. Ikut naik saja,”ajakku,”Aman, kok.”

Ia tersenyum. Sambil merapikan baju nya, ia mengikuti langkahku yang menuju lift. Begitu pintu lift terbuka, kami masuk. Berdua kami berada di lift yang dengan perlahan bergerak naik. Kupandang perempuan mungil yang berada disampingku itu dari kaca yang ada didepan kami. Wajahnya menunduk, menghindari tatapanku. Akhirnya lift berhenti di angka delapan dan pintu terbuka. Kupersilakan ia keluar, aku pun menyusul. Pagi itu lantai delapan masih sepi. Hanya terlihat bell boy yang menyapu lantai.

“Sebelah sini,”Kurangkul bahunya.

“Jangan,”ucapnya seraya melepaskan tanganku.

Langkah kami terhenti didepan pintu bernomor 832. Kukeluarkan kartu dari kantung baju dan menggeseknya di alat yang terdapat disamping pintu. Kubuka lebar pintu dan kupersilakan ia masuk. Karena kulihat ragu untuk masuk, kupegang tangannya dan kubawa masuk.

Setelah lampu menyala, kututup kembali pintu. kuambil perempuan itu ke dalam pelukanku. Ia diam dalam dekapanku, tapi perlahan tubuh mungil itu bergetar dan terdengar tangisnya. Kueratkan pelukanku dan kucium keningnya.

Tangisnya kian kuat. Rengkuhan tangannya ke punggungku pun mengerat. Kubiarkan air matanya menyerap di dada. Kubiarkan ia melepaskan beban yang ditanggungnya selama ini.

“Kakak jahat,”terdengar lemah ucapannya,”Kakak jahat.”

Kakak adalah panggilan sayang dia padaku ketika kami masih berstatus sepasang kekasih, masih berstatus mahasiswa. Kulepaskan pelukanku, kuangkat wajahnya ke arahku.

“Kakak jahat menghilang begitu saja.”

Aku hanya tersenyum kecut. Padahal aku tidak menghilang, aku tak akan pernah meninggalkan perempuan ini setelah kurenggut kehormatannya. Aku bukanlah lelaki tak bertanggung jawab. Masih kuingat saat itu, setelah lulus kuliah, aku datang ke rumah orang tuanya untuk meminta anaknya menjadi istriku. Tapi hanya penolakan yang kuterima karena saat itu aku masih pengangguran dan ia masih kuliah.

“Kakak jahat,”ucapan itu membuyarkan kenangan masa lalu itu.

Kuseka air matanya. Kucium lembut mata indahnya. Setelah itu kudekap kembali perempuan itu. Kubiarkan rindu ini merayap ke tubuhnya agar ia faham kalau aku tak melupakannya.

Akhirnya kududukkan ia ke tempat tidur, aku pun duduk. Kutatap wajahnya dan,”Maafkan Kakak kalau Kakak memang salah, tapi asal tahu saja, Kakak tak pernah melupakan kamu setelah apa yang pernah kita lakukan.

Kakak takut masa depanmu hancur karena cara berpacaran kita dulu.”

Ia menatapku sekejap untuk kemudian merunduk.

“Tapi, setelah mendengar kabar kamu telah mempunyai anak, rasanya bahagia sekali. Sumpah! Meskipun ada rasa sakit karena bukan aku yang menjadi ayahnya.”

Perempuan cantik itu tersenyum kecut.

“Aku kangen kamu.”Dibiarkannya tanganku mengelus pipinya.

Kuambil wajahnya dan kudekapkan ke dada. Kuciumi kening nya seperti dulu sering kulakukan. Bahagia pun mendekap hati ini. Pertemuan yang lama kuharap akhirnya terwujud juga.

Peran jejaring sosial memang sangat besar dalam pertemuan kami. Ketika menjadi anggota Facebook, aku menemukan banyak teman-teman lama, baik itu semasa SMP , SMA maupun ketika kuliah, termasuk juga beberapa mantan teman dekatku.

Dari Facebook aku tahu kehidupan Sri, perempuan yang kini berada didepanku. Berkat Facebook pula kami berkomunikasi dan kini akhirnya bertemu.


Kutatap wajah itu. Belum banyak berubah,. Ia pun menatapku, senyumnya mengembang, malu.

“Bisa minta air minum? Haus.”Ia mengalihkan perhatianku.

Segera aku beranjak ke lemari pendingin dan membukanya,”Mau minum apa?”

“Air mineral saja.”

Kuambil botol air mineral dan menyerahkannya. Perempuan itu menyambutnya, membuka penutupnya, dan menenggaknya langsung. Terlihat sekali kalau ia sedang kehausan.

“Haus sekali?”tanyaku setelah ia menaruh botol air mineral di tempat tidur.

“Iya-lah. Sejak kita ketemu di Gasibu, aku kan sudah empat putaran jogging,”ucapnya sambil merebahkan diri ke tempat tidur.”Penyakit lama Kakak nggak berubah rupanya.”

“Apa itu?”Aku pun merebahkan diri disampingnya.

Sri mengangkat kepalanya, menatap ke arahku, dan matanya melotot. Lalu,”Tak pernah meneraktir orang. Kalau diminta, baru mau keluar uang.”

Hahaha! Tawaku pecah.

“Kenapa tadi tidak minta?”tanyaku setelah tawa reda.

“Kakak ‘kan sudah gede sekarang, bukan mahasiswa lagi, mestinya sadar.”Sri mencubit pinggangku yang membuatku menggelinjang geli.

Cubitan Sri berubah menjadi gelitikan. Rupanya ia masih ingat kalau aku paling tidak suka kalau di kelitik. Aku menahan tangan mungil itu, coba menghentikan serangannya, tapi jemari Sri tetap menggerayangi bagian perut.

Sambil menahan tawa, tubuhku bergerak menghindari jari-jari itu. Akhirnya serangan Sri berhenti ketika wajah kami berdua saling berhadapan. Sri tampak terkejut menyadari aku sudah berada diatas tubuhnya, menyadari wajahku begitu dekat didepannya.

Kuambil kesempatan itu untuk mengambil bibirnya. Sri berontak, tapi kupegang kepalanya dan bibirku tak melepaskan bibirnya. Kupuaskan rinduku pada bibir merah itu.

Begitu bibir kami terlepas, serta merta Sri mendorong aku turun. Aku pun menggeletak disampingnya. Lama kami berdiam diri. POKER ONLINE

Sri bangkit dari tidurnya,”Antar aku pulang, Kak.”

“Mau kemana?”Aku turun dari tempat tidur.

“Aku baru ingat, ada tugas yang harus kukerjakan.”Dia menuju pintu.

“Tunggu. Aku mandi dulu.”Kuambil tangannya dan kududukkan kembali ke tempat tidur. Kunyalakan televisi agar dia ada kegiatan selama kutinggal mandi.

Segera aku masuk ke kamar mandi. Setelah melepaskan pakaian, aku pun membasahi tubuh. Sengaja tak kututup pintu kamar mandi karena takut perempuan itu pergi tanpa izin dariku.

Setelah mengeringkan badan, kulilit handuk ke pinggang dan keluar. Kulihat ia menatapku sekilas. Kubuka pintu lemari dan mengeluarkan tas. Dari tas kuambil kemeja, celana jeans, kaos dalam dan celana dalam.

Seperti tidak ada siapa-siapa di kamar, kulepaskan handuk. Dengan berbugil ria, aku mengusap ketiak dengan deodoran, menaburi tubuh dengan bedak, dan baru mengenakan celana dalam.

“Kamu nggak mandi?”Aku berbalik menghadap ke arahnya.

Ia melengos, tapi rona merah tampak di pipinya.

”Sri bangkit dan masuk ke kamar mandi."

“Handuknya ada di hanger,”teriakku.

Setelah memakai jeans, aku duduk di tempat tidur dan menonton tv. Kuambil roti dan menyantapnya.

Tak lama kemudian Sri keluar dari kamar mandi.

“Belum berpakaian juga?”tanyanya ketika mendapati aku masih setengah bugil.

“Sarapan dulu, gih.”Kuulurkan roti ke arahnya dan ia pun menyambutnya.

“Mau sarapan, ndak?”tawarku,”Nanti aku pesan.”

Sambil duduk, ia menggeleng. Dan dalam diam, kami menyantap roti. Hanya terdengar suara televisi yang memenuhi kamar.

“Bandung banyak berubah, ya,”ucapku memecah hening.

Sri tersenyum seraya menatapku. Dia tahu kalau itu basa-basaku.

“Sudah sarapannya?”tanyanya.

Seraya menelan habis roti yang ada di mulut, aku mengangguk. Kuambil botol air mineral dan meneguknya.

“Kamu ndak minum?”Kuulurkan botol air mineral ke arahnya.

“Ma kasih,”ucapnya seraya berdiri, berjalan menuju pintu dan membukanya.

Dengan tergesa aku mengenakan kaos, mengambil kunci kamar, dan menyusulnya. Sri sedang menunggu lift terbuka. Segera kujajari ia dan kami pun tertelan lift.

“Kamu ndak suka bertemu aku?”tanyaku seraya menatap wajahnya dari kaca didepan kami.


Dari kaca didepan kami ia balik menatapku. Kepalanya menggeleng. Kurasakan tanganku diremasnya, aku pun balik meremasnya. Di lantai enam, pintu terbuka dan sepasang muda-mudi berangkulan mesra masuk. Tanpa sungkan mereka memperlihatkan kemesraan mereka, sementara kami berdiri berjauhan seperti tak kenal satu sama lain.

Di lantai tiga, pasangan muda-mudi itu keluar, meninggalkan kami berdua. Lift terus meluncur turun. Kurangkul pundaknya, perempuan itu tak memberikan reaksi. Dibiarkannya kucium pipinya.

Saat lift tiba di lantai dasar, kulepaskan rangkulanku. Pintu lift pun terbuka. Kami keluar. Lobby hotel masih ramai. Seperti orang bingung, langkah kami terasa kaku. Kami kehilangan tujuan. Mau kemana kami ini? Terus keluar hotel atau kembali naik ke kamar?

Sungguh aneh! Seperti tak ada kekuatan, tubuh kami terdorong masuk kembali ke lift dan akhirnya berdampingan kami berdiri didepan pintu kamar. Pintu pun terbuka dan kami terhempas masuk.

Segera kuambil tubuhnya dan perempuan cantik itu pasrah dalam dekapan. Kujarah setiap jengkal wajahnya dengan penuh hasrat. Akhirnya kudorong tubuhnya terlentang di tempat tidur dan kunaiki. Bibir kami bertaut ganas. Napas birahi pun memenuhi kamar.

Kutarik lepas baju nya dan kutelanjangi tubuhnya. Kuciumi payudaranya sepuas mungkin dan sesekali kuremas dengan buas.

Ditutupinya benda-benda berharga miliknya dengan kedua tangannya ketika aku berdiri didepannya, memandang tubuh bugilnya. Setelah melepaskan pakaian, kubuka lebar pahanya dan kuarahkan mulutku ke selangkangannya. Bau khas dari liang kewanitaan yang menyebar disekitarku membuat hasrat untuk menjamahnya membutakanku. Segera kujilati lubang itu, membuat tubuhnya menggelinjang. Napasnya menderu kala bibirku menggigiti daging yang ada dilubang kewanitaannya. Sambil mencumbu selangkangannya, tanganku pun sibuk menjamah gunung-gunung diatasku.

Tanpa melepaskan lubang kewanitaannya, aku bergerak naik ke atas. Kunaiki tubuhnya dan kujejalkan senjataku ke mulutnya. Segera dikulumnya daging mengeras itu dan dengan pelan kugerakkan maju mundur. Sementara itu aku tak lupa dengan alat kelaminnya. Desahnya terdengar setiap kali lidahku memainkan kelentitnya.

Kucabut kontolku dari mulutnya, aku pun meninggalkan tubuhnya dan kembali turun ke bagian bawah tubuhnya. Kuambil bantal dan kutaruh dibawah pantatnya. Kubuka lebar pahanya dan kudekatkan senjataku ke selangkangannya. Napasnya tertahan ketika daging itu mengenai lubang diselangkangannya. Kudorong alat kelaminku masuk ke lubang berlendir itu perlahan, tapi susah. Akhirnya, dengan bantuan tangan, kubuka kelaminnya dan kudorong masuk senjataku. Kulihat matanya terpejam menikmati senjata musuhnya yang mulai merayap masuk.

Sengaja kutarik sedikit senjataku untuk kumasukkan kembali. Lalu kutarik lagi dan kutahan sebentar untuk kembali kuhujamkan sedikit. Begitu terus hingga akhirnya tangannya menempel di pantatku dan ditekannya ke depan hingga alat kelamin milikku masuk sempurna. Tidak sabaran rupanya, dia.

Kulebarkan pahanya dan dengan leluasa senjataku kumajumundurkan berkali-kali, sementara desahannya terdengar keras.

“Kak!”Kata itu terdengar cukup keras disela-sela desahannya.

Kutarik lepas kontolku dari lubang kelaminnya, kubalik badannya. Aku berdiri dibelakangnya, kuangkat pantatnya meninggi dan kembali kuarahkan senjataku masuk ke lubang bersemak itu.

Tubuhnya bergerak maju mundur terkena seranganku dan teriakan khasnya pun kembali terdengar. Kutempelkan dada ke punggungnya dan kuremas payudaranya yang menggantung pasrah itu.

“Kak!”Lenguhannya terdengar ketika kontol kutarik keluar. Ia pun terbanting ke kasur. Tanpa memberinya kesempatan bernafas, kuterlentangkan tubuh telanjang itu dan kembali kuserang lubang miliknya. Kuangkat kedua kakinya tinggi-tinggi dan kusodok selangkangannya. Maju mundur senjataku menusuki alat kelaminnya.

Terdengar nada panggil dari handphonenya, tapi tak kuhiraukan. Aku tetap menerjang lubang yang dulu, ketika masih kuliah, selalu kudatangi dan kuobrak-abrik itu.

Ia menahan gerakanku, tapi tak kuhiraukan. Aku hampir sampai. Kurasakan cairan dari senjataku hendak keluar, jadi kuabaikan keinginannya. Kupercepat gerakan kontolku yang maju mundur di lubang itu sementara desahannya pun kian cepat dan keras.

“Aku mau keluar.”Kueratkan pelukan ditubuhnya. Bersamaan dengan semprotan spermaku di kekedalaman lubang kewanitaan itu, kontolku pun kian cepat menusuki alat kelaminnya.

Kuhentikan serangan rudalku setelah senjataku berhenti memuncratkan sperma. Sri membiarkan aku yang terkulai diatas tubuhnya menikmati kemenanganku.

Setelah kesadaranku kembali, kutinggal lubang berlendir itu dan turun ke sampingnya. Kembali nada panggil terdengar. Ia beringsut mengambil tasnya dan mengeluarkan handphone. Setelah mengatur napasnya yang turun naik, ia menjawab panggilan itu.

Aku turun dari tempat tidur, membuka lemari es, mengambil kaleng minuman dan meneguknya. Setelah itu kembali duduk di tempat tidur, memperhatikan perempuan telanjang yang berdiri membelakangiku didekat jendela kamar.

Kenanganku kembali ke masa-masa kuliah dimana semua perilaku anak muda diukur berdasarkan kesenangan, bukan akal sehat. Sebagai mahasiswa perantauan yang jauh dari orang tua, pergaulan kami lumayan bebas.

Kehidupan anak muda memang begitu melenakan. Dasar pendidikan Sri yang polos tak bisa meredam perilaku nakalku. Atas dasar cinta kupaksa ia untuk mengikuti hasrat bejatku.

Sri masih buta sama sekali dengan kehidupan seks. Berkat akulah ia mengenal lawan jenisnya dan untuk pertama kalinya pula ia melihat pria yang telanjang. Ia pun tahu bagaimana bentuk alat kelamin lain selain miliknya serta dapat memegang dan menghisapnya. Sejak berpacaran denganku, ia telah merasakan surga dunia.

Tapi, aku masih punya akal sehat. Setiap kami making in love, baik itu di kamar kostku, di kamar kostnya atau pun di hotel, aku selalu membuang sperma di luar. Aku tak mau married by accident.

Lamunanku buyar. Kualihkan pandanganku ke Sri yang sedang berpakaian.

“Nggak mandi dulu?”

Kepalanya menggeleng. Kulihat matanya memerah karena air mata.

“Kenapa terulang lagi, Kak?”tanyanya disela kesibukannya merapikan pakaiannya.

Aku hanya terdiam menatapnya. Aku tak bisa berbicara karena aku yang memang salah mengajaknya ke kamar ini. Kembali iblis memenangkan pertarungan diantara kami, seperti dulu. Ternyata pesona surga dunia tak memandang usia dan tak pula melihat status pernikahan. Tak kuat iman, maka terjatuhlah manusia.

Kuambil Sri dalam pelukanku.
“Aku ada suami dan anak, Kak,”ucapnya pelan sembari menolakku.

Aku terdiam mematung.

“Kakak tak perlu mengantarku,”ucapnya disela isak tangisnya.”Ternyata kita tetap tak bisa bersikap dewasa, Kak.”

Akhirnya, perempuan itu berlalu dari hadapanku. Kamar hotel pun sepi. Aku masih mematung dan tak bisa bersikap.

Sekali lagi aku kehilangan perempuan itu. SUHU DOMINO



Sunday, March 29, 2020

AYUMI SI JEPANG YANG CANTIK

SUHU DOMINO
6100GAME - Kisah ini terjadi beberapa bulan silam, saat kapal tempatku bekerja merapat di pelabuhan Yokohama, Jepang. Hari itu salju turun dengan derasnya, maklum saat itu pertengahan bulan desember. Setelah kapal kami selesai merapat didermaga dengan sempurnanya, Nakhoda saya, yang orang Jepang, mengajak saya jalan-jalan kerumahnya. Rumah Nakhoda saya itu tidak jauh dari areal pelabuhan Yokohama, kami cukup naik taksi sekitar 10 menit saja.

Sesampai di rumahnya, saya diperkenalkan dengan istri dan anak-anaknya. Harus diakui bahwa anak perempuan sulung Nakhoda saya, memiliki kecantikan raut wajah yang betul-betul asli Jepang, dengan kulit yang kuning, mata sipit dan body yang aduhai. Saya begitu terkesima dengan kecantikannya, dan sempat berkhayal yang bukan-bukan. Kami saling berjabat tangan dan mengucapkan salam perkenalan.

"Hi, nice to meet you," kata anak Nakhoda saya itu.
"Me too," jawabku.
"What your name?" tanya gadis itu.
"I'm Robert, and you?," jawabku sambil menanyakan namanya.
"My name, Ayumi," jawabnya.

Selanjutnya kami duduk di ruang tamu dan bercerita ngalor-ngidul, bersama-sama dengan ibu, ayahnya dan adik-adiknya. Saat kami bercerita, sesekali saya berusaha mencuri-curi pandang kearah Ayumi, terutama ke bagian pahanya yang putih mulus. Hal itu membuat penisku sering ereksi sendiri. Namun sejauh itu saya masih berusaha untuk dapat mengendalikan diri.

Setelah kurang lebih satu jam kami saling berbagi cerita, Nakhodaku mengatakan bahwa ia dan istrinya akan pergi ke rumah saudaranya yang sedang punya acara. Dan ia menyuruh saya untuk menunggunya di rumah saja, sampai dia kembali. Sebelum mereka pergi Nakhoda saya berbicara sebentar kepada Ayumi. Memang mereka berbicara dalam bahasa Jepang, namun sedikit-sedikit saya bisa mengerti artinya, yaitu ia menyuruh Ayumi untuk tinggal menemani saya dan menyiapkan makan untuk saya.

"Robert-san, kamu tinggal saja dan silahkan istirahat," kata Nakhoda saya dalam bahasa Indonesia.
"Yes, Captain," jawabku.
"Robert-san, Jangan malu-malu kalau mau makan, Ayumi akan siapkan makanannya," katanya lagi kepadaku dan Ayumi.

Setelah mereka pergi, saya duduk-duduk saja di ruang tamu sambil menonton televisi. Suasana rumah itu begitu sepi, karena nakhoda saya pergi bersama istri dan adik-adik Ayumi. Sedang asyik-asyiknya nonton, tiba-tiba Ayumi datang, kali ini dia sudah mengenakan Kimono, kamipun bercerita sambil nonton televisi. Dari penuturannya, saya tahu kalau Ayumi ini baru berusia 17 tahun dan duduk di SMU kelas dua. Pantas ia begitu kelihatan remaja dan cantik. Kami duduk tidak terlalu berjauhan, dan karena itu saya dapat sesekali mencuri pandang ke arah dua bukit kembarnya yang cukup kelihatan di balik kimono yang ia pakai. POKER ONLINE

Kelihatannya udara yang dingin membuatku sedikit menggigil, kucoba memegang tangannya dan ia tidak menolak.
"Ayumi-san, are you cold? " tanyaku
"Yes, I'm very cold, " jawabnya
Saya memberanikan diri untuk memeluknya, ternyata ia tidak menolak bahkan semakin merapatkan badannya kedadaku. Tanganku gemetaran saat bersentuhan dengan buah dadanya yang mulai membesar seiring usianya. Entah setan apa yang merasukiku, perlahan-lahan saya mengangkat dagunya dan menciumnya. Ayumi pasrah dan membalas ciumanku. Kami berciuman cukup lama dan saling memagut bibir dengan gairah nafsu yang sama membaranya.
"Robert-san, you are very handsome", Ayumi berkata, disela-sela kami berciuman.
"Same Ayumi-san, you are very beautiful," kataku membalas.

Tanpa terasa tanganku mulai bergerak kearah payudaranya, dan mulai membelai dan sesekali meremasnya.
"Oh.. hsst, hsst, Robert-san, please," Ayumi mendesah dengan nikmatnya.
Pelan-pelan kubuka kimono yang menutup tubuhnya, ternyata dibalik kimononya ia tidak memakai pakaian dalam sehingga tubuhnya yang mulus segera saja terpampang jelas di mataku. Pentil susunya yang kemerah-merahan bertengger dengan indahnya diatas dua bukit kembarnya yang membusung indah. Betul-betul bagaikan puncak gunung Fujiyama, yang memang kelihatan jelas dari jendela rumahnya. Tanpa menunggu lama, kubopong dia ke atas sofa yang ada diruang tamu itu. Kembali kulumat bibirnya yang kecil memerah, sambil tanganku membelai lembut bukit kembarnya. Rupanya Ayumi juga tidak mau ketinggalan, ia membuka kancing-kancing bajuku dan melepas ikat pinggang celanaku. Tangannya dimasukkan ke dalam celanaku dan mulai meremas-remas batang kemaluanku. Akibat perbuatan Ayumi itu, kemaluanku semakin tegang, dan membuat mata saya juga meram-melek kenikmatan.

Setelah kurasa cukup melumat bibirnya, kini bibirku mulai kuturunkan kearah pentil susunya, dan mulai menjilatinya pelan-pelan.
"Oh my god, Robert-san, please, please touch me, suck it," Ayumi terus meracau tak keruan.
"Don't worry, honey. I will to do," kataku sambil terus menjilati pentil susunya. Sementara itu tanganku terus bermain-main diselangkangnya dan mengusap serta membelai lembut goa yang ada disela-sela momo-nya (BHs. Jepang = Paha). Jari jemariku terkadang lembut memasuki liang vaginanya dan terasa ada cairan hangat disitu. Menyadari hal ini saya segera berjongkok didepan sofa dan pahanya Ayumi kurentangkan lebar-lebar. Segera saja kujilati vaginanya dengan penuh nafsu.

"Auh.. hmm.. hst.. Robert-san o kudasai," Ayumi kembali meracau dalam bahasa Jepang.
Saya berusaha membuat suasana serileks mungkin, dengan terlebih dahulu mengecup liang vaginanya dan menghirup aroma khas perempuan yang begitu mempesona. Mungkin inilah aroma sejati sashimi dan sushi, pikirku dalam hati. Lidahku bermain liar di liang vaginanya dan sesekali kuhisap lembut klitorisnya yang bagaikan buah cherry terselip di sela-sela daun. Saking enaknya, tanpa sadar Ayumi menjambak-jambak rambutku.
"Oh.. uh.. mmh.." desah Ayumi keenakan.

Sluph.. clep.. clup.. lidahku berdecak berirama menghirup semua cairan hangat yang terus membanjiri liang vaginanya Ayumi. Rupanya Ayumi tak mau terus menerus kupermainkan, dia segera beranjak dan sekarang gantian saya yang duduk bersandar di sofa. Sekejap Ayumi memperhatikan batang kemaluanku kelihatan begitu tegang menantang.
"Oh Robert-san, it is very nice and very big, like is the Yokohama Tower," katanya terkagum-kagum sambil memegang dan mengocok-ngocok batang penisku. Sementara itu batang penisku semakin menegang dan kepalanya semakin merah kehitam-hitaman mengkilat.
"Yes, honey. But it is not Yokohama Tower, it's Monas Tower," balasku sambil tertawa geli dalam hati.

Tidak puas hanya memandang dan mengocok-ngocok batang penisku, kini Ayumi mulai menjilati dan mengulumnya. Lidahnya bermain lincah di pangkal dan kepala penisku, yang membuatku menggelinyang kegelian. Nafsuku semakin membuncah, akibat batang penisku yang terus-terusan dikulum dan disedot.
"Umm.. esht.. oh honey.. oh god," kataku keenakkan.
Clup.. clep.. srlup.. setiap hisapan mulut Ayumi menimbulkan bunyi yang tak lagi berirama dan menghadirkan sensasi gairah tersendiri ditelingaku.

Sementara itu, jari-jariku terus bermain diliang vaginanya. Kumasuk keluarkan jari-jariku, sambil sesekali melakukan gerakan-gerakan membentuk oval mengikuti lekuk bentuk liang vaginanya. Cairan hangat yang semakin banyak keluar dari liang vagina, telah membasahi semua telapak tanganku.
"Oh, honey. Please FUCK me," Ayumi yang sudah tidak dapat menahan gejolak nafsunya bangkit dari posisi jongkok dan naik keatas pangkuanku. Dipegangnya batang penisku dan pelan-pelan memasukkannya keliang vaginanya.
"Oh honey, it is very big, but I like it," Ayumi berkata sambil berusaha menekan pantatnya ke bawah untuk memasukkan batang kemaluanku.

Bless.. plok.. semua batang penisku telah masuk ke dalam liang vaginanya Ayumi. Terasa kehangatan menjalari setiap pori-pori yang ada di batang kemaluanku. Selanjutnya dia mulai menggenjot-genjot, menaik-turunkan pantatnya yang putih mulus dan melakukan gerakan-gerakan berputar yang berirama.
"Ouhk.. uhs.. yes.. oh yes.." Ayumi mengerang-ngerang kenikmatan.
"Oh honey, yes.. oh yes.." akupun tak kalah nikmatnya.
Beberapa saat sempat kuperhatikan sisa-sisa batang kemaluanku yang berada di luar liang vaginanya Ayumi, kelihatannya begitu perkasa bagaikan pohon yang berusaha menembus awan. Vaginanya Ayumi kelihatan begitu indah, berwarna kemerah-merahan.

Posisi Ayumi sekarang berganti, ia mengambil posisi menungging membelakangi saya. Inilah posisi Doggy style, yang memang saya gemari. Dalam posisi doggy style itu, saya bebas memandang vaginanya Ayumi yang begitu menantang untuk segera kususupi batang kemaluanku.
"Ups.. aukh.. yes honey, yes.." Ayumi mendesah-desah tak beraturan saat kumasuk-keluarkan batang kemaluanku di vaginanya.
"Oh.. usmh.. hah.. hah.." nafasku menderu-deru menikmati permainan ini.
Selang tiga menit kemudian rupanya Ayumi yang sudah semakin tak kuat menahan gairahnya berbalik dan mengambil posisi terlentang di sofa.
"Please honey, please come in, kudasai," Ayumi berkata dalam bahasa Inggris dan Jepang memintaku segera melakukan permainan puncak.
"Okay honey, okay,"kataku sambil mengambil posisi dan mengarahkan penisku tepat ke lubang vaginanya.

"Uckh.. uhst.. yes honey," Ayumi mendesah saat kumasukkan penisku ke vaginanya.
Terasa sedikit sempit, namun penisku lancar saja memasukinya karena vaginanya sudah begitu basah. Selanjutnya, segera saja saya mulai dengan permainan puncak ini. Penisku kumasuk-keluarkan dengan irama yang teratur. Clep.. clup.. cres.. terdengar bunyi yang begitu menggairahkan saat penisku mulai beraksi. Ayumi rupanya tak mau ketinggalan, ia segera saja mengimbanginya dengan menggoyang dan memutar-mutar pinggulnya.
"oh, honey. I love you, honey. Uh.. shh..," Ayumi kembali mendesah-desah kenikmatan.
"Yes honey, I love you too," jawabku tak kalah nikmatnya.
"Ump.. hssh.. ouhk.. oh yes," Ayumi mendesah-desah semakin tak karuan.
"Ush.. ahh.. ohh..," sayapun mendesah-desah merasakan kenikmatan yang indah ini.

Kami menikmati permainan puncak ini dengan segenap perasaan, sambil sesekali bercakap-cakap. Beberapa saat kemudian rupanya Ayumi sudah tidak lagi kuat menahan gairah nafsunya, tangannya dengan kuat mencengkram bahuku dan pinggulnya digoyang-goyang semakin cepat.
"Oh honey, I'm coming. I'm coming, oh.. ah..," Ayumi mendesah semakin tak keruan.
"Oh yes, honey. Yes. I'm coming too," kataku yang juga sudah tak kuat menahan desakan-desakan nafsuku.

Gerakan maju mundur segera saja kupercepat dan Ayumi-pun semakin cepat menggoyang dan memutar-mutar pinggulnya. Beberapa saat kemudian kamipun mencapai puncak Fujiyama bersama-sama.
"Oh honey, oh.. uah.. umph..," desah panjang Ayumi saat mencapai puncak kenikmatan.
"Uhmp.. uhss.. ouhk..," desahku saat cairan lahar panas tumpah keluar dari lubang penisku dan membanjiri vaginanya Ayumi.

Ayumi memeluk erat tubuhku, seakan-akan tidak ingin melepas lagi. Jari-jari tangannya mencengkram erat punggungku, kedua kakinya melipat dan menekan pantatku. Sementara itu, saya sendiri memeluk tubuhnya dengan erat dan melumat habis bibirnya.

Kenikmatan terindah ditengah derasnya salju bulan Desember yang begitu berkesan. Sejak saat itu, setiap kali kapal saya bersandar di pelabuhan Yokohama Jepang, saya dan Ayumi selalu merengkuh kenikmatan bersama, terkadang di rumahnya atau di hotel. SUHU DOMINO

Friday, March 27, 2020

TANTE MONA

SUHU DOMINO
6100GAME - Sebut saja namaku Setio, usiaku 28 tahun, sudah empat tahun perkawinanku tapi seorang anak belum kami dapatkan. Karena cintaku pada istriku, tidak ada niat untukku berselingkuh, tapi sejak perkenalanku dengan wanita itu, aku tergoda untuk selingkuh. Perkenalanku dengan wanita itu berawal 2 tahun yang lalu, saat kakak istriku mau menikah, kami mengunjungi rumah calon mempelai wanita untuk melamar, aku melihat seorang wanita berumur kira-kira 32 tahunan yang kutahu dia adalah istri dari pamannya calon pengantin wanita, dan kutahu kemudian namanya Tante Mona, karena kami sama-sama panitia perkawinan iparku.

Awalnya kuanggap biasa perkenalan ini, tetapi pada waktu hari perkawinan iparku, aku terpana melihat kecantikan Tante Mona yang memakai baju kebaya bordiran, sehingga lekuk tubuh dan bentuk payudaranya terbayang ditutupi kemben (pakaian kain Jawa) hitam yang membuatku ingin sekali melirik kemana perginya Tante Mona dan membayangkannya di saat Tante Mona telanjang.

Setelah acara pernikahan itu selesai, otomatis kami jarang sekali bertemu, karena Tante Mona harus menemani suaminya yang tugas di Surabaya. Hampir satu tahun lamanya aku ingin melupakan dirinya, tetapi ketika iparku memiliki anak, aku bertemu lagi dengan Tante Mona pada waktu menengok bayi. Saat itu Tante Mona mengenakan baju dan jeans ketat, sehingga lekuk tubuhnya membayangi lagi pikiranku yang terbawa hingga kutidur.

Sebulan kemudian, ketika acara syukuran bayi iparku, tante Mona datang dengan suaminya dan ibunya Tante Mona yang duduk di kursi roda akibat sakit stroke yang katanya sudah 4 tahun diderita. Dan dari iparku, kuketahui Tante Mona sekarang satu bulan di Jakarta untuk menjaga ibunya dan satu minggu menemani suaminya di Surabaya.

Seminggu setelah itu, temanku datang ke rumah untuk menawarkan bisnis "MLM" berbasis food suplement yang dapat membuat beberapa penyakit sembuh. Langsung pikiranku tertuju kepada ibunya Tante Mona. Setelah dapat nomor telpon Tante Mona dari iparku, aku langsung menghubunginya. Setelah obrolan kami, Tante Mona setuju untuk mencobanya terlebih dahulu. Keesokan harinya, ketika aku mengantar obat itu, aku berharap bisa ketemu Tante Mona, tapi karena ibunya sedang anval, otomatis aku hanya bertemu pembantunya.

Satu minggu kemudian, tiba-tiba HP-ku berdering, sebenarnya aku malas menerimanya karena nomor yang tertera tidak kukenal, tapi dengan agak malas kuterima juga telpon itu yang rupanya dari Tante Mona.
"Dik.. Setio, ya..? Disini Tante Mona."
"Eh.. iya Tante.. apa khabar..?"
"Wah.., Dik.. tante senang loh kayaknya obat yang adik kirim buat ibu bagus sekali, ibu sekarang sudah nggak pakai kursi roda lagi.. kalau begitu tante pesan lagi yach..? Kapan bisa kirim..?"
"Selamet deh Tante.. eng.. kalau begitu besok siang deh.. Tante.. saya kirim ke rumah..!"
"Ya.. sudah.. sampai besok yach..!"

Keesokannya, pukul 11:00 aku ke rumah Tante Mona. Ketika sampai, aku disuruh menunggu oleh pembantunya di ruangan yang sepertinya ruang perpustakaan. Tidak lama kemudian Tante Mona muncul dari pintu yang lain dari tempat kumasuk ruangan itu. Saat itu Tante Mona mengenakan baju model jubah mandi yang panjang dengan tali di pinggangnya, dan mempersilakan aku duduk di sofa yang dia pun ikut duduk, sehingga kami berhadapan. Ketika dia duduk, satu kakinya disilangkan ke kaki yang lain, sehingga betisnya yang bunting padi dan putih bersih terlihat olehku, membuat pikiran kotorku kepada Tante Mona muncul lagi. POKER ONLINE

Kami mengobrol panjang lebar, Tante Mona menanyakan hal tentang perkawinanku yang sudah 4 tahun tetapi belum dikaruniai keturunan, sedangkan dia menceritakan bahwa sebenarnya Tante Mona menikah disaat suaminya telah mempunyai anak yang sekarang sudah kuliah. Setelah hampir satu jam kami mengobrol, Tante Mona mengatakan padaku bahwa ia senang kalau ibunya sudah agak membaik.
"Oh.. ya berapa nih harga obatnya..?"
"Ah.. sudah Tante, nggak usah, gratis kok, tujuan saya khan yang penting Ibu bisa baik."
"Ah.. nggak lah Dik, Tante ambil dulu yach uangnya di kamar."

Tante Mona berdiri dan masuk ke pintu tempat tadi dia datang, tapi pintu itu dibiarkannya terbuka, sehingga kulihat kalau kamar di sebelah ruang kududuk adalah kamar tidur Tante Mona. Dari dalam dia teriak ke arahku menanyakan harganya sambil memanggilku.
"Dik.. Setio, berapa sih harganya..? Kamu sini deh..!"
Dengan agak ragu karena perasaanku tidak enak masuk kamar orang lain, kuhampiri juga Tante Mona.

Begitu sampai di pintu, aku seperti melihat suatu mukjizat, dan tiba-tiba perasaanku terhadap Tante Mona yang pernah ada dalam pikiranku muncul. Tante Mona berdiri di samping tempat tidurnya dengan jubah yang dipakainya telah tergeletak di bawah kakinya. Aku melihat tanpa berkedip tubuh Tante Mona yang sedang berdiri telanjang dada dan pangkal pahanya tertutup celana dalam berwarna pink memperlihatkan sekumpulan bulu hitam di tengah-tengahnya.
"Dik, kalau kamu nggak mau dibayar sama uang, sama nafsu Tante Mona aja yach..? Kamu mau khan..?"
"E.. e.. eng.. bb.. boleh deh Tante..!"

Tiba-tiba kali ini aku bisa melihat Tante Mona yang setengah bugil dan memohon kepadaku untuk melayani nafsunya, kuhampiri dia sambil menutup pintu. Bentuk tubuh Tante Mona sungguh indah di mataku, kulitnya putih bersih, payudara yang berukuran 36B berdiri dengan tegaknya seakan menantangku, lekukan paha dan kaki jenjangnya yang indah dan betisnya yang bunting padi, persis bentuk tubuhnya penyanyi Jennifer Lopez. Aku seakan tidak bisa menelan ludahku karena Tante Mona sekarang tepat berdiri di depanku.

"Dik.. Setio, layani Tante yach..! Soalnya sudah dua bulan Tante tidak dijamah Om.."
"Iya.. Tante, ta.. tapi.. kalau anak-anak Tante datang gimana..?"
"Anak-anak kalau pulang jam 5:00 sore, lagi itu kan anak-anaknya Om."
"Ok.. deh Tante, Tante tau nggak, kalau hal ini sudah saya impikan sejak pernikahan Desi, soalnya Tante seksi banget sih waktu itu."
"Sekarang.. sudah nggak seksi dong..?"
"Oh.. masih.. apa lagi sekarang, Tante kelihatan lebih seksi."

Bibir tipisnya mencium bibirku dengan hangat, sesekali lidahnya dimainkan di mulutku, aku pun membalasnya dengan lidahku. Tangan lembutnya mulai melepaskan dasi dan bajuku hingga kami sudah telanjang bagian atasnya. Dada bidangku mulai diciumi dengan nafsunya, sementara lehernya dan pundaknya kuciumi. Wangi tubuhnya membuat nafsuku juga meningkat, sehingga batangku mulai mengeras mendesak celana dalamku. Tangannya mengelus celanaku di bagian batangku yang sudah mengeras, sedangkan aku mulai memainkan mulutku di payudaranya yang terbungkus kulit putih bersih, putingnya yang putih kemerahan sudah jadi bulan-bulanan lidah dan gigiku, kugigit dan kusedot, sehingga Tante Mona mengelinjang dan makin keras tangannya mencengkram batangku.

Celana panjangku mulai dibuka dengan tangan kirinya, lalu celana dalamku ditarik turun sehingga batangku sudah dipegang tangan halusnya dan mulai mengocok batangku.
"Dik.. batangmu besar sekali yach..? Kalau punya Om paling setengahnya aja, berapa sih besarnya..?"
"Kalau panjangnya 20 cm, kalau diameternya 4 cm."
"Wah.. gede banget yach.. pasti Tante puas deh.., boleh Tante isap nggak.."
Aku hanya mengangguk, Tante mona langsung jongkok di hadapanku, batangku dipegangnya lalu dimainkan lidahnya pada kepala batangku, membuatku agak gelisah keenakan. Batangku yang besar berusaha dimasukkan ke dalam mulut mungilnya, tetapi tidak bisa, akhirnya kepala batangku digigit mulut mungilnya.
Kira-kira 15 menit, dia berdiri setelah kelelahan mengulum batangku, lalu dia merebahkan dirinya di sisi tempat tidur. Kali ini aku yang jongkok tepat di sisi kedua kakinya, tangan kananku melepaskan celana dalam pinknya, saat itu juga aroma wangi langsung bertebaran di ruangan yang rupanya aroma itu adalah aroma dari vagina Tante Mona yang bentuknya sangat indah ditutupi bulu-bulu halus di sekitar liang vaginanya.
"Ah.. Tante Mon.. vagina Tante harum sekali, boleh saya jilatin..?"
"Ah.. jangan Dik.. kamu nggak jijik, soalnya si Om nggak pernah menjilatinya."
"Wah.. payah si Om.. vagina itu paling enak kalau dijilatin, mau yach.. Tante.. enak.. kok..!"
"Iya deh.. kalau kamu nggak jijik."

Paha putihnya sudah kuusap lembut dengan tangan kiriku, sementara jari tengah tangan kananku mulai menjamah liang vaginanya.
Kulihat Tante Mona melirik ke arahku sambil berkata, "Dik.. jilatnya yang enak yah..!"
Aku hanya mengangguk sambil mulai kutempelkan lidahku pada liang vaginanya yang rupanya selain wangi rasanya pun agak manis, membuatku semakin bernafsu untuk menjilatinya, sementara kulirik Tante Mona sedang merasakan geli-geli keenakan.
"Ah.. ah.. ssh.. argh.. iya.. yach.. Dik.. enak deh rasanya.. wah kalau gini.. besok-besok mainnya sama Dik Setio aja deh.. sama Om.. ntar-ntar deh.. abis.. enak.. banget.. sih.. Dik Setio mau khan..? Ah.. argh..!"

Aku tidak menjawab karena lidahku sudah menemukan biji klitoris yang rasanya lebih manis lagi dari liangnya, sehingga makin cepat kujilati. Rasa manisnya seakan-akan tidak pernah hilang. Tante Mona semakin menggelinjang tidak karuan, sementara tangannya menekan kepalaku yang seakan dia tidak mau kalau kulepaskan lidahku dari biji klitorisnya. Hampir 30 menit klitoris manis itu kujilati ketika tiba-tiba tubuh Tante Mona mengejang-ngejang, dan dari klitoris itu mengalir deras cairan putih bersih, kental dan rasanya lebih manis dari biji klitoris, sehingga dengan cepat kutangkap dengan lidahku, lalu kutelan cairan itu sampai habis. Tante Mona pun mendesah dan langsung tubuhnya lemas. DOMINO QIU QIU

"Argh.. argh.. agh.. ssh.. sshh.. eegh.. eegh.. Dik.. Setio.. enak.. buangget.. deh.. kamu.. pintar.. membuat.. Tante.. keluar.. yang belum pernah Tante.. keluarin dengan cara begini.. kamu.. hebat deh, agh.. agh..!"
Kuubah posisi Tante Mona, kali ini kakinya terjuntai ke bawah, lalu kuposisikan batangku tepat di liang kemaluannya yang masih agak basah. Dengan jariku, kurenggangkan liang vaginanya, lalu dengan sedikit hentakan, batang kejantananku kudorong masuk, tapi agaknya vagina itu masih agak sempit, mungkin karena batangku yang besar. Kucoba lagi hingga 5 kali tapi belum bisa masuk.

"Tante.. Vagina Tante.. sempit.. yach.. padahal saya sudah tekan berkali-kali.."
"Iya.. dik.. mungkin karena belum pernah melahirkan.. yach.. tapi tekan.. aja terus.. biar batang adik.. masuk.. nggak apa-apa kok.. kalau sampai vagina saya robek.."
Kucoba lagi batangku kutekan ke dalam vagina Tante Mona. Akhirnya setelah 15 kali, Tante Mona menjerit keenakan, masuklah batang kejantananku yang super besar itu merobek liang kewanitaannya.

"Ooowww.. argh.. argh.. gila.. hegk.. hegk.. gede.. banget.. sich.. Dik batangmu rasanya nembus ke perut Tante nich.. tapi.. enak.. banget dech.. trus.. Dik.. trus.. tekannya.. argh.. argh..!" desahnya tidak menentu.
Kulihat Tante Mona berceracau sambil dengan perutnya berusaha menahan batangku yang masuk lubang kenikmatannya. Kutekan keluar masuk batangku pada vaginanya berkali-kali, tangannya memegang perutku berusaha menahan tekanan batangku pada vaginanya. Tanganku mulai meremas-remas payudaranya, kupelintir putingnya dengan jariku.

Hampir satu jam Tante Mona melawan permainanku. Tiba-tiba tubuh Tante mona menggelinjang dengan hebatnya, kakinya disepak-sepak seperti pemain bola dan keluarlah cairan dari vaginanya yang membasahi batangku yang masih terjepit di liang senggamanya. Cairan itu terus mengalir, sehingga meluber keluar membuat pahaku dan pahanya basah, tetapi aku belum merasakan apa-apa. Yang kukagetkan adalah ketika kulirik cairan yang mambasahi paha kami ada tetesan darahnya, aku berpikir bahwa selama ini Tante Mona pasti masih perawan walau sudah berkali-kali main dengan suaminya.

Kulihat tubuh Tante langsung tergolek loyo, "Argh.. arghh.. ssh.. aawww.. oohh.. Dik Setio.. kamu.. e.. emang.. hebat..! Batangmu.. yahud. Aku benar-benar puas.. aku.. sudah.. keluar. Besok.. besok.. aku hanya.. mau.. memekku.. dihujam.. punyamu.. saja. Ah.. arghh.. ah.. ah.. ah.. ah..!"
Badan Tante mona langsung kuputar hingga kali ini dia tengkurap, pantatnya yang dibungkus kulitnya yang putih bersih dengan bentuk yang padat dan sexy, membuat nafsuku bertambah besar. Kuangkat sedikit pantatnya supaya agak menungging dan terlihatlah vagina yang tersembunyi di balik badannya. Aku agak menunduk sedikit, sehingga memudahkan lidahku memainkan liang kemaluannya untuk menjilati sisa-sisa cairan yang baru saja dikeluarkan oleh Tante mona. Cairan itu sangat manis rasanya sehingga langsung kuhisap habis.

Setelah cairan itu habis, kutempelkan lagi batang keperkasaanku pada liang senggamanya. Karena tadi Tante mona sudah orgasme, jadi liang kemaluannya sedikit lebih lebar dan memudahkanku dalam menekan batang kejantananku untuk masuk ke lubangnya Tante Mona.
"Jleb.. bless.. jleb.. bless.. ah.. ah.. sedapnya.. memek.. Tante.. deh.. ah..!"
Aku memasukkan batang kejantananku ke liang Tante Mona dengan berceracau, karena liang senggama Tante mona sangat sedap sekali rasanya. Sementara kulihat Tante Mona tidak bersuara apa-apa, karena dia sudah tertidur lemas. Batang kejantananku keluar masuk liangnya dengan lembut, sehingga aku pun menikmatinya. Hal itu berlangsung satu jam lamanya. Tiba-tiba Tante Mona terbangun dan dia mengatakan bahwa dia mau mencapai orgasme yang kedua kalinya, dan meneteslah cairan kental lagi dari liang kewanitaan Tante mona yang membasahi batang kemaluanku.

"Agh.. agh.. aawww.. arghh.. sshh.. Dik.. Se.. Setio ka.. kamu memang.. he.. hebat..! Tante sampai dua.. kali.. keluar.., tapi.. kamu.. masih tegar.. argh.. sshh..!"
"Ah.. Tante.. saya juga sudah.. mau keluar.. saya.. mau.. keluarin.. di luar.. Tante.. agh..!"
"Jangan.. Dik Setio.. keluarin.. aja.. di dalam.. memek.. Tante.. Tante.. mau.. coba.. air.. mani.. Dik.. Setio. Siapa tahu nanti.. Tante bisa.. hamil.. Keluar di dalam.. yach.. Dik..!"
Tante Mona merengek meminta untuk air maniku harus dikeluarkan di dalam vaginanya, sebenarnya aku agak bingung atas permintaannya, tetapi setelah kupikir, aku dan Tante menginginkan seorang keturunan. Akhirnya kulepas cairan maniku ke liang senggamanya dengan sedikit pengharapan.

"Crot.. crot.. serr.. serr.. agh.. aghr.. agh.. Tante.. Tante mona.. memek Tante memang.. luar biasa.. argh.. argh..!"
"Ahh.. ahh.. Dik.. air mani.. kamu.. hangat.. sekali.. ahh.. Tante.. jadi segar.. rasanya..!"
Cairanku dengan derasnya membasahi lubang kemaluan Tante Mona, sehingga agak meluber dan rupanya Tante Mona menyukai air maniku yang hangat. Akhirnya kami pun ambruk dan langsung tertidur berpelukan.
Aku terbangun dari tidurku ketika batangku sedang dihisap dan dijilat Tante mona untuk mengeringkan sisa air maniku, jam pun sudah menunjukkan waktu 4:30. Aku berpikir bahwa hampir 3 jam aku dan Tante mona berburu nafsu birahi.
"Dik Setio, terima kasih yach..! Tante Mona puass deh sama permainan seks kamu.. Kamu lebih hebat dari suami saya. Kapan kita bisa main lagi..? Tante udah pingin main lagi deh.."


"Iya Tante, besok pun juga boleh. Habis saya juga puas. Tante bisa mewujudkan mimpi saya selama ini, yaitu menikmati tubuh Tante Mona dan Tante luar biasa melayani saya hampir tiga jam. Wahh, Tante memang luar biasaa.."
"Iya.., kamu pun hebat, Dik Setio. Saya suka sekali ketika batangmu menghujam memek saya. Terlebih air mani kamu, hanggatt.. sekali. Besok kita bisa main lagi khan..?"
"Iya.. sayangku. Sekarang kita bersih-bersih, nanti anak dan suamimu datang..!"
Kukecup bibir Tante Mona yang setelah itu kami membersihkan badan kami bersamaan. Di kamar mandi, Tante mona sekali lagi kusodok liang senggamanya sewaktu bershower ria.

Setelah itu, hampir setiap hari aku bertemu Tante Mona untuk memburu nafsu birahi lagi. Hingga sekarang sudah berlangsung 3 bulan lebih lamanya, dan yang agak menyejukkan hati kami berdua bahwa sejak sebulan lalu, Tante mona dinyatakan hamil. SUHU DOMINO



NAKED SUSHI

SUHU DOMINO
6100GAME - Hi, salam kenal. Namaku Eva, aku berasal dari kota kecil di Jawa Tengah. Saat ini aku sedang kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta angkatan 2008. Kejadian terjadi saat aku baru menjalani semester dua.

Siang itu pukul dua. Hari sangat panas sampai-sampai blouse putihku terasa basah oleh keringat. Aku baru sampai di kamar kost-ku ketika ponselku berdering. Dari Mbak Rina, tetangga kost-ku.

Kamar Mbak Rina berada tepat di samping kamarku. Mbak Rina ini seorang Fresh Graduate dari Universitas Negeri Terkenal di Yogyakarta, saat ini dia sedang magang di salah satu Hotel Berbintang Lima. Mbak Rina sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri, sebab waktu pertama kali aku sampai di Jogja, dia lah satu-satunya orang yang mau nemenin aku dan dengerin curhat-curhatku yang sedang homesick.

EVA
"Evaaaa.... Gawaaaaaaat," kata suara di seberang telepon.

"Ada apa, mbak?" tanyaku.

"Kamu bisa bantuin mbak, nggak?!"

"Bantuin apa dulu?" aku penasaran.

Mbak Rina pun menjelaskan. Suaranya terdengar putus-putus, tapi aku menangkap maksudnya.

"Haaaaah?!!! Emoh! Gila!! Ndak mau aku, mbak!" aku terkejut mendengar permintaaannya.

"Plis... pleaaaase... bantuin aku, Va.... Bayarannya lumayan, kok..." suaranya masih terdengar putus-putus.

"Yaaaah, aku sih sakjane kepingin bantuin mbak, tapi kalau yang ini mohon maaf, aku ndak bisa," tolakku halus.

"Ndak bisa diusahanin, ya?"

"Maaf, mbak."

"Ndak apa-apa... maaf ya, Va... sudah minta yang aneh-aneh," Mbak Rina menutup teleponnya.

Aku menghela napas panjang sambil menggeleng-geleng tak habis pikir. Aku pernah mendengar beberapa teman kampusku yang nyambi jadi ayam kampus untuk tambahan uang saku. Tapi yang ini lebih gila dari itu.

Untuk lebih jelas begini: Pembaca sekalian tahu Sushi dan Sashimi? Makan Jepang yang terbuat dari potongan ikan segar, kadang-kadang dibalut dengan beras Jepang dan nori (rumput laut). Apabila biasanya Sushi dan Sashimi disajikan dalam piring, maka kali ini potongan ikan tersebut disajikan di atas tubuh telanjang wanita, yaitu: AKU. Hiiiiiih, aku bergidik.

Aku meletakkan tas dan mencuci muka. Tapi bayangan seorang gadis telanjang dalam kondisinya yang paling memalukan belum juga bisa hilang dari ingatan. Karena penasaran aku menyalakan laptop, memasang modem, dan mencoba mencari informasi dengan kata kunci "Naked Sushi". Kemudian muncul gambar wanita Jepang dengan irisan daging di atas tubuhnya yang telanjang, dan orang-orang makan dengan lahap tanpa merasa risih.

Ooh, ternyata di luar negeri hal ini sudah biasa, toh, batinku polos. Aku kemudian memperhatikan gambar selanjutnya, manis juga modelnya, meski aku tidak bisa membayangkan kalau seandainya aku yang berada dalam posisi itu, pasti malu sekali rasanya!

Anehnya, meski jengah, mataku tidak bisa berhenti bergerak dari gambar ke gambar. Semakin aku berusaha menghindar, semakin di benakku bertebaran bayangan mental bahwa aku lah yang berada di dalam posisi itu. Aku dipaksa telanjang bulat dengan daging-daging segar yang diletakkan di atas tubuh polosku. Bagaimana jika ada tamu yang nakal lalu memainkan payudaraku? Bagaimana jika ada tamu yang iseng dan meraba-raba kemaluanku? Dan bagaimana jika para tamu bernafsu dengan tubuhku... lalu... aku...

Aku semakin hanyut dalam khayalan erotis tanpa menyadari napasku mulai memburu dan telapakku kini menekap erat gundukan yang semakin lama semakin terasa hangat...

"Tuliluliluuuuuuut...," nada dering Nokia menyentakku kembali ke dunia nyata. Ternyata Mbak Rina menelpon lagi. Hu-uh!

"Hah-ha... h-halooo-o..." aku masih terengah-engah.

"Halo, Eva? Duuuuh..., mbak jadi kepikiran... maafin mbak ya, Va... maafin udah ngajak yang aneh-aneh."

"I-iya... nggak apa-apa, mbak," aku masih mengatur napasku.

"Mbak jadi ndak enak sama kamu..., maafin mbak, ya... soalnya begitu dapat kabar Sushi Girl yang biasa nggak bisa datang, mbak langsung panik dan keinget kamu...."

"Nggak apa-apa, mbak...." Napasku sudah mulai menormal.

".... Padahal besok ada tamu penting dari Jepang."

"Oh, terus gimana, mbak? Sudah dapat penggantinya belum?"

"Belum, ini lagi mbak nyari-nyari... oh iya, barangkali temenmu ada yang berminat?"

"Temenku? Hmmm... barangkali ada... tar kucariin, deh... eh... ngomong-ngomong berapa honornya? Siapa tahu ditanya, ntar."

"Nggak banyak, sih. Paling satu juta belum termasuk tips."

What? Satu juta?

RINA
"Wah, banyak juga, ya....? Terus... ehm... maaf... di dalam... disuruh ngapain aja... 'yang lainnya' juga nggak....?"

"Enggaaaaak!!! Cuma bugil, terus tiduran, tamu dilarang colek-colek," jelas Mbak Rina.

Wow cuma bugil, disuruh tiduran, dan dapat satu juta! Temanku yang nyambi jadi ayam kampus saja penghasilannya tidak sampai segitu!

"Emmmm..." aku berpikir.

"Va? Kenapa?"

"Ng-nggak apa-apa..."

"Ya udah, nanti kalau ada temanmu yang mau, mbak dihubungi, ya.."

"Eh... em... mbak... tugasnya cuma bugil dan tiduran aja, to?"

"Iya..."

"Mmmmmh... kalau gitu... aku mau... deh..." aku berkata malu-malu.

"Ah, beneran kamu mau?" Mbak Rina bertanya nggak percaya.

"I-iya, mbak... aku mau, kok..."

"Huaaaaah? Serius? Okeeeee.... Kalau gitu jam 7 malam nanti kamu ke tempat kerja di hotel XYZ kamu parkir di tempat parkir karyawan, nanti bilang saja temannya Bu Rina."

"Siap, mbak."

"Makasih, Evaaaaaaa....," telepon ditutup.

Wow. Aku membelalak tak percaya pada kata-kataku sendiri. Perutku terasa mulas saking excited-nya! Aku melepaskan baju kuliahku dan melemparnya ke lantai, lalu membuka kait bra-ku.

Ups, aku lupa menutup pintu! Aku segera mengunci pintu, untung kos-kosan masih sepi, hehe...

Aku segera melompat ke tempat tidurku, memelorotkan celana dalamku sampai aku telanjang bulat.
Aku berkhayal tentang kejadian malam nanti sambil memainkan bibir kemaluanku yang tembem. Aku menggosok-gosok klitorisku, dan memilin-milin puting susuku. Tubuhku menggelinjang hebat, aku sampai harus menggigit bantal agar jeritan puncak kenikmatanku tidak terdengar ke luar kamar. Siang itu, aku terkulai lemas dan tertidur tanpa busana.


Aku terbangun, langit sudah gelap. Aku melihat layar ponselku, pukul 18.05. Aku bergegas, mandi dan berpakaian. Sebelum ke tempat Mbak Rina, aku menyempatkan diri makan dulu.

Pukul 18.55 aku tiba di tempat Mbak Rina bekerja. Sebuah hotel berbintang lima yang terletak di Utara Jogja. Sesuai perintah Mbak Rina, aku memarkir motor di tempat parkir karyawan dan melapor pada petugas keamanan. Aku lalu dipersilahkan masuk dan diantar ke sebuah ruangan dan diminta menunggu.

Ruangan itu berukuran cukup besar, ada sebuah meja rias dan cermin, sofa panjang, dan sebuah kamar mandi. Aku duduk di sofa, jantungku rasanya berdebar-debar tak karuan.

"Evaaaaa.... Untung kamu dataaaaaang...." Mbak Rina datang dan menyalamiku.

Aku cuma bisa tersenyum kecil.

"Sudah siap, thoooo?" tanya Mbak Rina.

"Mudah-mudahan, mbak," jawabku grogi.

"Wis pokok'e tenang saja," kata Mbak Rina sambil membuka laci meja rias, dan mengambil sesuatu. "Ini, kamu mandi dulu," Mbak Rina memberikan handuk, dan alat cukur kepadaku. "Oh iya, jangan lupa itu dibersihin, ya," Mbak Rina menunjuk pada pangkal pahaku.

"Ah? Harus dicukur ya, mbak?"

"Ya iyalah... masa tamunya makan Sushi yang ada jembutnya?" Mbak Rina mencoba mencairkan suasana, tapi mukaku malah memerah mendengar kata-kata vulgar itu.

"Habis mandi, kamu ganti pakai ini," Mbak Rina memberikan pakaian mirip kimono kepadaku. "Barang-barangmu biar mbak yang nyimpen," lanjutnya.

Aku masuk ke dalam kamar mandi. Aku melepaskan seluruh pakaianku. Aku memandangi tubuhku yang tak ditutupi sehelai benangpun di cermin kamar mandi. Dengan tinggi 160 cm dan berat 50 kg membuat terlihat proporsional. Kemudian aku memegang dada 34B-ku, hmmm kencang juga, lumayanlah nggak malu-maluin di depan orang banyak. Apalagi dengan rambut lurus sebahu, wajah manis khas Jawa, dan kulit kuning langsat. Mudah-mudahan saja bisa mengharumkan nama Indonesia di Dunia Internasional, hehehe....

Well it's show time. Aku mulai membersihkan bulu halus di sekitar kemaluanku. Sesaat kemudian kemaluanku sudah mulus seperti anak bayi.

Aku menyalakan shower air hangat. Aku mengambil sabun cair dan mengoleskannya ke tangan dan leherku, lalu aku menyabuni dadaku yang montok. Aku memejamkan mata saat air menerpa dada dan wajahku. Sejenak aku ragu, tapi kupikir 'sudah terlanjur basah, sekalian mandi aja!'. Akupun menyabuni kemaluanku, dan memainkan gundukan daging di sana agar lebih rileks nantinya.

Aku mengerang pelan, sambil menggesek-gesekkan jari ke klitorisku yang menegang. Aku memejamkan mata, lututku terasa lemas. Aku terduduk di lantai kamar mandi, air shower terus mengucur membasahi kulitku yang memerah.

Jari tangan kananku semakin dalam merogoh ke dalam liang kemaluan yang basah, sementara tangan kiriku meremas-remas bongkahan kenyal dadaku. Aku membayangkan berpasang-pasang mata bernafsu memandangi tubuhku yang indah. Birahiku semakin menggelora.

Aku melengguh tertahan. Sekarang posisiku sudah tertidur meringkuk di lantai kamar mandi, gerakan jemari di kemaluanku semakin kencang, mataku menatap nanar rintikan air yang deras. Hingga akhirnya terdengar erangan erotis dari kerongkonganku ketika sekujur tubuhku mengejang dan berguncang-guncang hebat. Aku merasakan cairan keluar dari dalam kemaluanku.

Untuk sesaat aku tetap meringkuk seperti itu, membiarkan air hangat menetes-netes di badanku. Aku mengatur napasku yang tersengal.

"Va... Eva... udahan belum mandinya?" Mbak Rina mengetuk-ngetuk pintu.

"Ah, iya... ini baru udahan," aku segera bangkit dan mengeringkan badanku. Aku mengenakan kimono yang diberikan Mbak Rina, dan keluar dari kamar mandi."

"Duuuuh, lama banget kamu, memang ngapain aja di dalem?" omelnya.

"Hehehehe," aku cuma nyengir. Di ruangan itu sudah ada dua orang lagi, mereka segera mengeringkan rambutku dengan hairdryer, dan merias wajahku.

"Udah, yuk, ikut mbak," kata Mbak Rina begitu selesai di rias.

Mbak Rina menuntunku melewati lorong. Di sana karyawan hotel hilir mudik melewati kami. Aku merasa seksi, sebab di balik kimono ini aku tidak mengenakan apa-apa lagi, ditambah lagi beberapa karyawan sesekali melirik tubuhku yang menapak jelas di balik kimono yang setengah basah.

Kami sampai di ruangan berukuran 4x5 meter yang ditutupi tatami, sejenis tikar Jepang. Dindingnya ditutupi anyaman bambu dan sejenis pintu geser dari kertas. Ada beberapa lukisan cat air tergantung di sana, tidak terlalu jelas tapi aku yakin itu lukisan wanita yang sedang mandi. Di tengah ruangan ada meja kotak setinggi lutut, dengan bantal di atasnya. Mbak Rina memintaku melepaskan kimono dan berbaring di sana. Aku melepas penutup terakhir di tubuhku, tangan kananku menutup buah dada, sementara tangan kiri menutup kemaluanku. Malu. Aku berbaring tanpa busana di meja itu, sementara Mbak Rina memanggil seseorang melalui interkom.

Kemudian dua orang wanita berpakaian waitress datang, usianya kira-kira sama denganku. Mereka membawa nampan berisi handuk kecil dan tissue basah.

"Permisi ya, mbak," kata seorang di antara mereka sambil mengusapkan tisu basah di tanganku. Tercium aroma alkohol, mungkin agar higienis, pikirku. Dia mengangkat tanganku dan meletakkan tanganku di sisi tubuhku. Sementara seorang lagi melakukan hal yang sama pada tangan kiriku. Otomatis payudara dan kemaluanku terekspos.

Lampu gantung mengayun-ayun pelan di atasku, menimbulkan siluet di dadaku yang mencuat. Aku melirik ke bawah, kemaluanku yang polos terpampang indah di hadapan Mbak Rina dan dua orang waitress tersebut. Mbak Rina agaknya terpana memperhatikan tubuhku yang tak ditutupi selembar benangpun. Tubuhku terasa panas, meskipun AC di ruangan itu mengucur kencang.

"Wah, kok nggak dari dulu aja kamu kerja sama mbak."

Aku cuma nyengir mendengarnya.

"Begini ya, mbak jelaskan dulu. Nanti badanmu akan jadi lepek'an Sushi," Mbak Rina menjelaskan dengan logat medhok-nya, sementara dua orang waitress tadi membersihkan bahuku. "Mereka akan langsung makan dari badanmu itu. Tapi tenang saja, mereka ndak dibolehin ngapa-ngapain kamu."

Aku lega mendengarnya.

"Tapi nek ono sing jail, yo aku ora iso opo-po, paling ya nowel-nowel susumu sikit, hehehe...,"

Aku mengernyitkan kening, kurang jelas menangkap maksud Mbak Rina sebab payudaraku sedang dibersihkan oleh dua orang waitress tadi. Mataku terpejam saat tisu basah itu bergerak berputar-putar mengelilingi bukit kembarku. Geli. Putingku kembali menegang. Birahiku kembali memuncak saat tisu basah itu menuruni perutku, pelan-pelan mendekati gundukan mulus di bawah perutku. Aku menggigigt bibir bawah ketika salah seorang dari mereka membersihkan bagian luar kewanitaanku.

"Ummmmmh...," aku melengguh pelan.

"E... maaf ya, mbak," katanya sambil tetap membersihkan bibir kemaluanku dengan seksama.

"Haaah... haaaah..." Punggungku melengkung dan dadaku seketika membusung sebagai reaksi pertama ketika jadinya bergerak membelai bagian tubuhku yang paling intim. Aku melirik pelan ke arah waitress tersebut, ternyata ia sedang mengusap-usap klitorisku. Ia tersenyum dan melirikku penuh arti.

Tubuhku menegang hebat. Hampir saja aku orgasme jikalau sang waitress tidak melanjutkan membersikan bagian paha dan kakiku.

Saat aku melirik ke Mbak Rina, kulihat dia salah tinggkah, tatapannya nanar, napasnya sedikit memburu.

"Em... Ehem... Eva... tak tinggal sik, yo...," Mbak Rina buru-buru meninggalkan ruangan seperti orang yang kebelet pipis.

Dua orang waitress itu akhirnya selesai membersihkan tubuhku, lalu mereka mohon diri. Sesaat kemudian datang seseorang yang berpakaian ala Chef Jepang, setelan putih-putih beserta ikat kepala putih. Membawa nampan berisi potongan-potongan ikan beraneka warna. Mas Chef, kita sebut saja begitu.

"Selamat malam," kata Mas Chef, seorang laki-laki, kutaksir usianya 35 tahun. Tampan. Dengan cambang tipis yang mengingatkanku pada artis Rio Dewanto.

"E... e... malam...," jawabku kikuk. Aku spontan menutupi dada dan kemaluanku di hadapan lawan jenis.

"Baru pertama kali, ya?" ia mencoba mencairkan suasana. Tampangnya cool seolah sudah biasa melihat pemandangan seperti ini.

"I-iya...," jawabku malu-malu. Wajahku memerah, baru kali ini ada laki-laki yang melihatku telanjang bulat. Perasaanku campur aduk antara malu tapi juga erotis di saat yang sama.

"Oke. Saya mulai sekarang, ya," Mas Chef menyusun nori, rumput laut Jepang di atas pusarku. Ia membentuknya menyerupai bunga.

"Mas sudah lama kerja begini?" aku memberanikan bertanya.

"Oh, kalau jadi koki sudah lama, tapi kalau yang begini baru tahun lalu ikut pelatihan di Jepang," katanya sambil meletakkan udang yang dibalut sejenis nasi di atas nori berbentuk bunga tadi.

"Memang di sini sudah lama ya? Menyediakan 'menu' seperti ini?"

"Ah enggak, saya ini chef angkatan pertamanya... mmmm sebentar, ya.... Jangan ngomong dan jangan gerak dulu," katanya. Saat ini dia sedang meletakkan sejenis udang di atas kemaluanku. Terasa dingin saat udang tersebut di menyentuh kulitku, aku refleks bergerak sehingga udang tersebut terjatuh ke selangkanganku.

"Wah, jangan gerak-gerak, mbak!" Mas Chef mengambilnya dengan sumpit.

"Maaf. Habis geli, mas," aku minta maaf. Sementara tangannya mencari-cari udang yang jatuh tepat di pangkal pahaku. "Ahhh!!" erangku pelan saat tak sengaja ia menyenggol belahan vaginaku.

"Ah... maaf-maaf... ditahan sebentar, ya...," ia meletakkan udang tersebut pelan-pelan di atas daerah pubisku yang mulus. Wajahnya yang tampan sangat dekat sehingga aku bisa merasakan napasnya yang hangat di antara selangkanganku. Aku melirik sedikit, wajahnya terlihat sangat serius.

"Yah, inilah resiko pekerjaan, mbak.... Pokoknya kalau geli ditahan saja. Nanti sushi-nya jatuh-jatuh." Ia menambahkan potongan ikan salmon dan tuna di sekitar bikini area, di atasnya di tambahkan daun untuk hiasan. Aku hanya bisa menggigit bibirku, menahan geli yang tak tertahankan.

Mas Chef pindah ke atas kepalaku, ia menyusun nori seperti bentuk perahu di atas payudaraku. Lalu dia atasnya ia hendak meletakkan potongan salmon, tapi terjatuh karena bentuk payudara yang membulat. Keningnya mengernyit, ia mengambil potongan tersebut dan mencoba meletakkannya kembali. Kali ini wajahnya yang tampan berada sangat dekat dengan wajahku, napasnya terdengar jelas di telingaku. Aku jadi semakin berdebar-debar.

"Wah, grogi bener ni mbaknya," Mas Chef tersenyum melihat wajahku yang tegang. Ya Tuhan, ganteng sekali.

"Iya, mas... baru pertama kali..."

"Wajar. Saya juga grogi waktu pertama kali."

"Maksud saya, saya baru pertama kali... telanjang di depan cowok...," aku berkata dengan wajah bersemu.

"Ow... cowokmu?"

"Belum punya...," jawabku malu-malu.

"Ow ow... I see...," katanya sambil meletakkan telur ikan di perutku. "Pokoknya nanti rileks saja, mbak merem saja," ia menambahkan beberapa potongan buah di tubuhku.

Mas Cheff memandangi tubuhku yang telanjang, ia terlihat puas dengan hasil karyanya.

"Welldone, sudah selesai... okay... saya tinggal dulu, ya..." ia pun keluar. Bersamaan dengan itu Mbak Rina masuk ruangan, ia memandang takjub tubuhku yang penuh dengan potongan sushi dan sashimi.

"Yummy..., mbak jadi laper... pengin makan kamu, nih, hihihihi...," canda Mbak Rina sambil mencolek payudaraku.

Aku cuma bisa tersenum kecut, agak sulit berbicara dengan tumpukan sushi di atas tubuhku.

"KLIK!!" Mbak Rina mengambil fotoku dengan ponselnya. Wajahku seketika berubah merah padam. Malu sekali rasanya! Aku ingin mengejarnya, tapi saaat ini aku hanya pasrah tidak bergerak

"Tamunya sudah datang, kamu siap-siap, ya..."

Aku hanya mengangguk.

Mbak Rina keluar ruangan, sesaat kemudian dia datang bersama enam orang laki-laki yang berpakaian rapi. Mbak Rina mempersilahkan mereka duduk mengelilingiku. Wajahku panas, hatiku bergejolak. Malu, tapi juga erotis sekali rasanya. Tidak bisa kujelaskan sensasinya telanjang bulat dan berpasang-pasang mata memperhatikan tubuhku. Dadaku berdebar-debar, kemaluanku mulai basah.

Aku tidak jelas mendengarnya, tapi salah satu dari mereka bernama Sakamoto san, seorang pria paruh baya dengan rambut putih beruban. Sementara seorang lagi bernama Ryusuke san, yang ini seumuran Mbak Rina, mungkin eksekutif muda.

Seorang waitress masuk untuk menghidangkan sake. Sekilas Ryusuke san memperhatikan tubuhku yang halus. Sesaat kemudian Mbak Rina mempersilahkan mereka menikmati hidangan, sebelum akhirnya keduanya undur diri.

Mereka menuangkan sake dan mulai minum-minum sambil tertawa-tawa dan bercanda satu dengan yang lainnya dengan bahasa Jepang.

Sakamoto san mempersilahkan teman-temannya makan. Hatiku semakin berdebar-debar. Seorang dari mereka mengambil sushi yang ada di lenganku dengan sumpit, mencelupkannya ke dalam soyu (kecap asin Jepang) dan memakannya dengan lahap. Seorang lagi mengambil ikan dan dan nori yang menutupi dadaku dengan tangan. Sepertinya ia sengaja menyenggol payudaraku. Puting susuku yang sudah mengeras kini terekspos jelas. Birahiku semakin bergejolak.

Ryusuke san mengambil tuna yang menutupi kemaluanku dan mencelupkannya ke dalam wasabi (sambal Jepang). Kulihat matanya tak berkedip memandangi kemaluanku yang polos tanpa bulu. Bulu kudukku meremang, kemaluanku semakin basah. Ryusuke san berkernyit, mungkin ia menyadari kilapan di bagian tubuh yang paling intim. Eksekutif muda itu kemudian mengambil udang di kemaluanku, kali ini ia memasukkan udang tersebut di belahan vaginaku sambil tersenyum.

"Hmmmmh....," aku memejamkan mata ketika potongan daging itu bergerak membelah himpitan rapatku yang licin, sebelum Ryusuke san memasukkan udang yang dibasahi cairan cintaku itu ke dalam mulutnya. Yang lain tertawa terbahak-bahak melihat pemandangan mesum itu. Tapi Sakamoto san menegur koleganya, menyuruhnya agar lebih sopan.

Tamu-tamu Jepang itu bercanda dan bernyanyi sambil minum-minum sake, aku hanya bisa diam dan menahan birahi yang bergejolak.

Aku terkejut saat seorang dari mereka tiba-tiba memakan potongan ikan yang menutupi perutku langsung dengan mulutnya. Mungkin sudah mabuk tak lama kemudian yang lain ikut-ikutan melakukan hal yang sama.

Aku melengguh ketika seorang dari mereka mengambil tuna yang menutupi puting kiriku dengan bibirnya, malah sengaja mengulum puncak dadaku yang mengeras.

"Teishi! (stop)" Sakamoto san berusaha mencegah, tetapi sepertinya ia terlalu mabuk sehingga terjatuh di atas tatami,

"Jangan tuaaaan... jangan tuaaaan... aaaaha.... Aaaaaaah....," aku menahan teriakanku karena Ryusuke san memakan salmon yang ada di kemaluanku. Ia sengaja menjatuhkan sepotong di selangkanganku, maka kepalanya masuk di antara kedua pahaku dan mencari potongan itu. Aku merasakan napasnya yang panas dan lidahnya yang menari-nari di atas bibir vaginaku.

Melihat pemandangan itu, teman-temannya ikut menggila, seorang langsung melumat daging di payudara kiriku berikut putingnya, sementara seorang lagi kini sibuk menyusu di payudara kanan. Aku menggeliat gelisah ketika seorang yang berkepala plontos mulai berani menciumi wajah dan leherku. Aku merasa dilecehkan tapi juga menikmati saat lima orang asing itu menggerogoti tubuhku. Perut, payudara, leher, dan kemaluanku semuanya habis dilumat mereka.

"Tuaaaan... jangaaaaan... saya... saya... aaaah... aaaaaah...," kakiku mulai mengangkang, dan mataku terpejam rapat ketika Ryusuke san mulai memasukkan jarinya ke dalam liang kawinku, mengocoknya pelan. Tubuhku seketika kejang-kejang. Aku hampir orgasme.

Tiba-tiba pintu diketuk. Para tamu terkejut. Mas Chef berbicara dengan bahasa Jepang kepada Sakamoto san. Tamu yang terlihat paling senior itu melirik marah ke arah 5 orang koleganya. Sepeninggam Mas Chef dan Mbak Rina, Sakamoto san mengomeli mereka dengan bahasa Jepang. Mereka terutama Ryusuke San hanya bisa menunduk.

Sakamoto san berkata agar aku duduk di sebelahnya. Potongan daging yang menutupi tubuhku sudah habis, aku beringsut duduk dan menutupi bagian intim tubuhku dengan tangan.

"Do yo supik enggurisu?" ('Do you speak english', maksudnya)

"Y-yes...," jawabku.

"I'm aporogisu for my staffu behavior...."

"Don't mind it, sir,"

"You are so biutifuru..."

"Emm... thank's..."

"You reminds me to my gurandohturu..."

Lama kami bercakap cakap, ternyata Sakamoto san ini adalah pengsuaha dari Jepang yang sedang menangani proyek pengadaan air bersih di kabupaten Gunung Kidul.

Setengah jam lamanya mereka di situ sambil ngobrol-ngobrol. Suasana mulai cair sehingga aku tak lagi menutupi bagian tubuhku dengan tangan. Aku hanya menikmati tatapan mereka yang sesekali melirik tubuhku yang kini tak tertutupi apa-apa. Birahihu kembali memuncak, ingin sekali rasanya aku masturbasi di hadapan mereka, tapi rasanya aku belum segila itu....


"Suramat maram... sampai jurumpa lagi," pamit Sakamoto san dalam bahasa Indonesia.

Mereka keluar ruangan diantar Mbak Rina. Seorang waitress membersihkan tubuhku dengan tisu basah, seorang lagi memawakanku kimono. Badanku terasa lemas, aku mengenakan kimono itu ala kadarnya, sampai-sampai tali di bagian pinggang lupa kuikatkan.

Pikiranku terasa kosong. Aku berjalan lunglai keluar ruangan, kimono yang kukenakan tidak kuikat sempurna sehingga bagian depan tubuhku terpampang jelas. Beberapa waitress dan karyawan hotel yang lewat di lorong terkejut melihatku setengah telanjang. Sudahlah, toh dari tadi aku sudah telanjang. Kunikmati pandangan mata seorang room boy pada dadaku yang menyembul dari balik kimono, sementara seorang cleaning service mencuri-curi lihat ke arah kemaluanku yang polos.

"Eva!" kudengar Mbak Rina menyusulku dari belakang. "Good job!" lanjutnya sambil menepuk pundakku.

Aku memasuki kamar ganti. Aku langsung menjatuhkan tubuhku pada sofa panjang di sana. Aku mengatur napasku yang belum selesai memburu, sementara kimono yang kukenakan terjuntai di samping tubuhku. Payudaraku yang mengacung terlihat jelas oleh Mbak Rina.

"Makasih banyak ya, Va...," kata Mbak Rina sambil duduk di sampingku.

"Sama-sama, mbak...," jawabku pelan.

Aku benar-benar lemas malam itu. Aku merebahkan kepala di pangkuan mbak Rina, dia membelai rambutku.

"Mbak sudah tertolong banget..., nanti kalau ada tamu lagi, mbak minta tolong kamu, boleh nggak?"

"Boleh..."

"Makasih ya, Eva sayang..."

Aku menoleh ke arahnya, tersenyum manis. Ia membelai pipiku, aku memejamkan mataku, menghirup dalam-dalam aroma tubuh Mbak Rina, harum sekali.

Napasku mulai memburu, tidak terasa kemaluanku kembali basah tidak karuan. Pelan-pelan aku menggerakkan tanganku dari payudara, turun ke perut sampai akhirnya tiba di atas kemaluanku yang polos. Aku melengguh pelan merasakan ujung jariku menyentuh bagian lembab di bawah sana.

"Nggak apa-apa, Eva sayang...," bisik Mbak Rina lembut seolah sudah mengerti apa yang ingin aku lakukan. Sekilas aku meliriknya, cantik sekali.

"E-eeeh? Beneran nggak apa-apa?" aku menggamit tangannya yang membelai pipiku.

Mbak Rina mengangguk "Iya... mbak tahu kamu pasti sudah tegang sekali dari tadi..."

Aku menekan kemaluanku dari luar sambil memejamkan mataku.

Aku mengusap vaginaku, memainkan bibirnya yang basah. Aku menghela napas panjang, sensasi ini baru pertama kali kruasakan, telanjang bulat dan bermasturbasi di pangkuan orang yang kusayang. Birahiku semakin membuncah.

Aku meraba-raba klitorisku, memainkannya dengan ujung jari. Dadaku yang telanjang naik turun seiring napasku yang memburu.

Mulutku mengangga tapi tak bersuara. Kenikmatan ini tidak bisa kubayangkan sebelumnya. Mataku menatap nanar ke arah Mbak Rina, bisa kulihat wajahnya memerah, dan napasnya yang mulai tidak teratur.

Tangan Mbak Rina pelan-pelan turun membelai dadaku. Aku memegang tangannya menuntunnya ke arah puting susuku yang menegang.

Mataku terpejam saat Mbak Rina memainkan puncak dadaku. "Mbaaaaak.... Aaah..... enakh bangeth....." kocokan jari di vaginaku semakin kencang, tubuhku begerak tidak karuan. Kimono yang kukenakan tidak lagi menutupi tubuhku.

Tangan Mbak Rina meremas-remas payudaraku, sementara tangan yang satunya memelukku erat.

"Aahhhhh... mmmbak Riiiiinnnn... Evaaa.... Eva... sampeee....," aku meracau tidak jelas, pahaku tertekuk ke depan dada. Aku merasakan kemaluanku berkedut-kedut. Aku memeluk Mbak Rina erat sekali.

"Haaaaah... hah... ha...," Napasku terenggah-enggah. Aku merasakan ada yang keluar dari kemaluanku. Mbak Rina memelukku, mengecup keningku yang berpeluh.

Untuk sesaat, aku terbaring tanpa busana di pangkuan Mbak Rina. Ia memelukku, membelai rambutku, hangat, seperti seorang ibu yang memeluk anaknya.

Aku mengatur napasku yang memburu, peluh membasahi seluruh tubuhku.

"Makasih ya, mbak....," ujarku lemah.

"Iyaaa Eva sayaaaang...," jawab Mbak Rina. Bisa kurasakan hatinya masih penuh dengan birahi.

"Eeee.. permisi Bu Rina, ditunggu sama Pak Bob," tiba-tiba seorang karyawan sudah berdiri di depan pintu.

Aku spontan meraih kimono yang tergeletak di bawah untuk menutupi tubuhku seadanya. Karyawan itu melirik bagian samping dadaku yang mengintip.

"Eh.. E-eh... i-iya... sebentar lagi saya ke sana," kata Mbak Rina sambil berusaha mengendalikan dirinya. Mbak Rina mengambil napas panjang, sebelum beranjak ke arah pintu.

"Eva, mbak tinggal dulu, ya... sudah malam. Kamu pulang saja dulu. Masalah honornya tenang saja. Beres."

Mbak Eva dan karyawan itu pergi meninggalkanku. Aku melemparkan kimono itu ke bawah. Aku masuk ke ruang shower dan mandi. Setelah berpakaian aku meninggalkan ruangan. Seorang wanita berpenampilan kantoran menghampiriku.

"Selamat malam, Eva. Terima kasih atas bantuannya, ya," ia tersenyum ramah sambil menyerahkan amplop berlogo Hotel tersebut.

"E... sama-sama, mbak," aku tersenyum.


Aku memacu motorku melewati remang lampu jalan Monjali. Hari sudah malam dan bertambah dingin. Di kiri jalan kulihat warung yang menjual susu segar masih buka. Aku mampir sebentar memesan roti bakar dan susu jahe hangat.

Aku membuka amplop tadi dan melihat 10 lembar uang seratus ribuan.

Wow, batinku.

Tiba-tiba ponselku bergetar. 1 pesan diterima. Dari Mbak Rina.

"BESOK ADA TAMU DARI KOREA. TOLONG LAGI YA, EVA SAYANG^^"

Wah, bisa kaya nih.. SUHU DOMINO