Friday, March 27, 2020

NAKED SUSHI

SUHU DOMINO
6100GAME - Hi, salam kenal. Namaku Eva, aku berasal dari kota kecil di Jawa Tengah. Saat ini aku sedang kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta angkatan 2008. Kejadian terjadi saat aku baru menjalani semester dua.

Siang itu pukul dua. Hari sangat panas sampai-sampai blouse putihku terasa basah oleh keringat. Aku baru sampai di kamar kost-ku ketika ponselku berdering. Dari Mbak Rina, tetangga kost-ku.

Kamar Mbak Rina berada tepat di samping kamarku. Mbak Rina ini seorang Fresh Graduate dari Universitas Negeri Terkenal di Yogyakarta, saat ini dia sedang magang di salah satu Hotel Berbintang Lima. Mbak Rina sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri, sebab waktu pertama kali aku sampai di Jogja, dia lah satu-satunya orang yang mau nemenin aku dan dengerin curhat-curhatku yang sedang homesick.

EVA
"Evaaaa.... Gawaaaaaaat," kata suara di seberang telepon.

"Ada apa, mbak?" tanyaku.

"Kamu bisa bantuin mbak, nggak?!"

"Bantuin apa dulu?" aku penasaran.

Mbak Rina pun menjelaskan. Suaranya terdengar putus-putus, tapi aku menangkap maksudnya.

"Haaaaah?!!! Emoh! Gila!! Ndak mau aku, mbak!" aku terkejut mendengar permintaaannya.

"Plis... pleaaaase... bantuin aku, Va.... Bayarannya lumayan, kok..." suaranya masih terdengar putus-putus.

"Yaaaah, aku sih sakjane kepingin bantuin mbak, tapi kalau yang ini mohon maaf, aku ndak bisa," tolakku halus.

"Ndak bisa diusahanin, ya?"

"Maaf, mbak."

"Ndak apa-apa... maaf ya, Va... sudah minta yang aneh-aneh," Mbak Rina menutup teleponnya.

Aku menghela napas panjang sambil menggeleng-geleng tak habis pikir. Aku pernah mendengar beberapa teman kampusku yang nyambi jadi ayam kampus untuk tambahan uang saku. Tapi yang ini lebih gila dari itu.

Untuk lebih jelas begini: Pembaca sekalian tahu Sushi dan Sashimi? Makan Jepang yang terbuat dari potongan ikan segar, kadang-kadang dibalut dengan beras Jepang dan nori (rumput laut). Apabila biasanya Sushi dan Sashimi disajikan dalam piring, maka kali ini potongan ikan tersebut disajikan di atas tubuh telanjang wanita, yaitu: AKU. Hiiiiiih, aku bergidik.

Aku meletakkan tas dan mencuci muka. Tapi bayangan seorang gadis telanjang dalam kondisinya yang paling memalukan belum juga bisa hilang dari ingatan. Karena penasaran aku menyalakan laptop, memasang modem, dan mencoba mencari informasi dengan kata kunci "Naked Sushi". Kemudian muncul gambar wanita Jepang dengan irisan daging di atas tubuhnya yang telanjang, dan orang-orang makan dengan lahap tanpa merasa risih.

Ooh, ternyata di luar negeri hal ini sudah biasa, toh, batinku polos. Aku kemudian memperhatikan gambar selanjutnya, manis juga modelnya, meski aku tidak bisa membayangkan kalau seandainya aku yang berada dalam posisi itu, pasti malu sekali rasanya!

Anehnya, meski jengah, mataku tidak bisa berhenti bergerak dari gambar ke gambar. Semakin aku berusaha menghindar, semakin di benakku bertebaran bayangan mental bahwa aku lah yang berada di dalam posisi itu. Aku dipaksa telanjang bulat dengan daging-daging segar yang diletakkan di atas tubuh polosku. Bagaimana jika ada tamu yang nakal lalu memainkan payudaraku? Bagaimana jika ada tamu yang iseng dan meraba-raba kemaluanku? Dan bagaimana jika para tamu bernafsu dengan tubuhku... lalu... aku...

Aku semakin hanyut dalam khayalan erotis tanpa menyadari napasku mulai memburu dan telapakku kini menekap erat gundukan yang semakin lama semakin terasa hangat...

"Tuliluliluuuuuuut...," nada dering Nokia menyentakku kembali ke dunia nyata. Ternyata Mbak Rina menelpon lagi. Hu-uh!

"Hah-ha... h-halooo-o..." aku masih terengah-engah.

"Halo, Eva? Duuuuh..., mbak jadi kepikiran... maafin mbak ya, Va... maafin udah ngajak yang aneh-aneh."

"I-iya... nggak apa-apa, mbak," aku masih mengatur napasku.

"Mbak jadi ndak enak sama kamu..., maafin mbak, ya... soalnya begitu dapat kabar Sushi Girl yang biasa nggak bisa datang, mbak langsung panik dan keinget kamu...."

"Nggak apa-apa, mbak...." Napasku sudah mulai menormal.

".... Padahal besok ada tamu penting dari Jepang."

"Oh, terus gimana, mbak? Sudah dapat penggantinya belum?"

"Belum, ini lagi mbak nyari-nyari... oh iya, barangkali temenmu ada yang berminat?"

"Temenku? Hmmm... barangkali ada... tar kucariin, deh... eh... ngomong-ngomong berapa honornya? Siapa tahu ditanya, ntar."

"Nggak banyak, sih. Paling satu juta belum termasuk tips."

What? Satu juta?

RINA
"Wah, banyak juga, ya....? Terus... ehm... maaf... di dalam... disuruh ngapain aja... 'yang lainnya' juga nggak....?"

"Enggaaaaak!!! Cuma bugil, terus tiduran, tamu dilarang colek-colek," jelas Mbak Rina.

Wow cuma bugil, disuruh tiduran, dan dapat satu juta! Temanku yang nyambi jadi ayam kampus saja penghasilannya tidak sampai segitu!

"Emmmm..." aku berpikir.

"Va? Kenapa?"

"Ng-nggak apa-apa..."

"Ya udah, nanti kalau ada temanmu yang mau, mbak dihubungi, ya.."

"Eh... em... mbak... tugasnya cuma bugil dan tiduran aja, to?"

"Iya..."

"Mmmmmh... kalau gitu... aku mau... deh..." aku berkata malu-malu.

"Ah, beneran kamu mau?" Mbak Rina bertanya nggak percaya.

"I-iya, mbak... aku mau, kok..."

"Huaaaaah? Serius? Okeeeee.... Kalau gitu jam 7 malam nanti kamu ke tempat kerja di hotel XYZ kamu parkir di tempat parkir karyawan, nanti bilang saja temannya Bu Rina."

"Siap, mbak."

"Makasih, Evaaaaaaa....," telepon ditutup.

Wow. Aku membelalak tak percaya pada kata-kataku sendiri. Perutku terasa mulas saking excited-nya! Aku melepaskan baju kuliahku dan melemparnya ke lantai, lalu membuka kait bra-ku.

Ups, aku lupa menutup pintu! Aku segera mengunci pintu, untung kos-kosan masih sepi, hehe...

Aku segera melompat ke tempat tidurku, memelorotkan celana dalamku sampai aku telanjang bulat.
Aku berkhayal tentang kejadian malam nanti sambil memainkan bibir kemaluanku yang tembem. Aku menggosok-gosok klitorisku, dan memilin-milin puting susuku. Tubuhku menggelinjang hebat, aku sampai harus menggigit bantal agar jeritan puncak kenikmatanku tidak terdengar ke luar kamar. Siang itu, aku terkulai lemas dan tertidur tanpa busana.


Aku terbangun, langit sudah gelap. Aku melihat layar ponselku, pukul 18.05. Aku bergegas, mandi dan berpakaian. Sebelum ke tempat Mbak Rina, aku menyempatkan diri makan dulu.

Pukul 18.55 aku tiba di tempat Mbak Rina bekerja. Sebuah hotel berbintang lima yang terletak di Utara Jogja. Sesuai perintah Mbak Rina, aku memarkir motor di tempat parkir karyawan dan melapor pada petugas keamanan. Aku lalu dipersilahkan masuk dan diantar ke sebuah ruangan dan diminta menunggu.

Ruangan itu berukuran cukup besar, ada sebuah meja rias dan cermin, sofa panjang, dan sebuah kamar mandi. Aku duduk di sofa, jantungku rasanya berdebar-debar tak karuan.

"Evaaaaa.... Untung kamu dataaaaaang...." Mbak Rina datang dan menyalamiku.

Aku cuma bisa tersenyum kecil.

"Sudah siap, thoooo?" tanya Mbak Rina.

"Mudah-mudahan, mbak," jawabku grogi.

"Wis pokok'e tenang saja," kata Mbak Rina sambil membuka laci meja rias, dan mengambil sesuatu. "Ini, kamu mandi dulu," Mbak Rina memberikan handuk, dan alat cukur kepadaku. "Oh iya, jangan lupa itu dibersihin, ya," Mbak Rina menunjuk pada pangkal pahaku.

"Ah? Harus dicukur ya, mbak?"

"Ya iyalah... masa tamunya makan Sushi yang ada jembutnya?" Mbak Rina mencoba mencairkan suasana, tapi mukaku malah memerah mendengar kata-kata vulgar itu.

"Habis mandi, kamu ganti pakai ini," Mbak Rina memberikan pakaian mirip kimono kepadaku. "Barang-barangmu biar mbak yang nyimpen," lanjutnya.

Aku masuk ke dalam kamar mandi. Aku melepaskan seluruh pakaianku. Aku memandangi tubuhku yang tak ditutupi sehelai benangpun di cermin kamar mandi. Dengan tinggi 160 cm dan berat 50 kg membuat terlihat proporsional. Kemudian aku memegang dada 34B-ku, hmmm kencang juga, lumayanlah nggak malu-maluin di depan orang banyak. Apalagi dengan rambut lurus sebahu, wajah manis khas Jawa, dan kulit kuning langsat. Mudah-mudahan saja bisa mengharumkan nama Indonesia di Dunia Internasional, hehehe....

Well it's show time. Aku mulai membersihkan bulu halus di sekitar kemaluanku. Sesaat kemudian kemaluanku sudah mulus seperti anak bayi.

Aku menyalakan shower air hangat. Aku mengambil sabun cair dan mengoleskannya ke tangan dan leherku, lalu aku menyabuni dadaku yang montok. Aku memejamkan mata saat air menerpa dada dan wajahku. Sejenak aku ragu, tapi kupikir 'sudah terlanjur basah, sekalian mandi aja!'. Akupun menyabuni kemaluanku, dan memainkan gundukan daging di sana agar lebih rileks nantinya.

Aku mengerang pelan, sambil menggesek-gesekkan jari ke klitorisku yang menegang. Aku memejamkan mata, lututku terasa lemas. Aku terduduk di lantai kamar mandi, air shower terus mengucur membasahi kulitku yang memerah.

Jari tangan kananku semakin dalam merogoh ke dalam liang kemaluan yang basah, sementara tangan kiriku meremas-remas bongkahan kenyal dadaku. Aku membayangkan berpasang-pasang mata bernafsu memandangi tubuhku yang indah. Birahiku semakin menggelora.

Aku melengguh tertahan. Sekarang posisiku sudah tertidur meringkuk di lantai kamar mandi, gerakan jemari di kemaluanku semakin kencang, mataku menatap nanar rintikan air yang deras. Hingga akhirnya terdengar erangan erotis dari kerongkonganku ketika sekujur tubuhku mengejang dan berguncang-guncang hebat. Aku merasakan cairan keluar dari dalam kemaluanku.

Untuk sesaat aku tetap meringkuk seperti itu, membiarkan air hangat menetes-netes di badanku. Aku mengatur napasku yang tersengal.

"Va... Eva... udahan belum mandinya?" Mbak Rina mengetuk-ngetuk pintu.

"Ah, iya... ini baru udahan," aku segera bangkit dan mengeringkan badanku. Aku mengenakan kimono yang diberikan Mbak Rina, dan keluar dari kamar mandi."

"Duuuuh, lama banget kamu, memang ngapain aja di dalem?" omelnya.

"Hehehehe," aku cuma nyengir. Di ruangan itu sudah ada dua orang lagi, mereka segera mengeringkan rambutku dengan hairdryer, dan merias wajahku.

"Udah, yuk, ikut mbak," kata Mbak Rina begitu selesai di rias.

Mbak Rina menuntunku melewati lorong. Di sana karyawan hotel hilir mudik melewati kami. Aku merasa seksi, sebab di balik kimono ini aku tidak mengenakan apa-apa lagi, ditambah lagi beberapa karyawan sesekali melirik tubuhku yang menapak jelas di balik kimono yang setengah basah.

Kami sampai di ruangan berukuran 4x5 meter yang ditutupi tatami, sejenis tikar Jepang. Dindingnya ditutupi anyaman bambu dan sejenis pintu geser dari kertas. Ada beberapa lukisan cat air tergantung di sana, tidak terlalu jelas tapi aku yakin itu lukisan wanita yang sedang mandi. Di tengah ruangan ada meja kotak setinggi lutut, dengan bantal di atasnya. Mbak Rina memintaku melepaskan kimono dan berbaring di sana. Aku melepas penutup terakhir di tubuhku, tangan kananku menutup buah dada, sementara tangan kiri menutup kemaluanku. Malu. Aku berbaring tanpa busana di meja itu, sementara Mbak Rina memanggil seseorang melalui interkom.

Kemudian dua orang wanita berpakaian waitress datang, usianya kira-kira sama denganku. Mereka membawa nampan berisi handuk kecil dan tissue basah.

"Permisi ya, mbak," kata seorang di antara mereka sambil mengusapkan tisu basah di tanganku. Tercium aroma alkohol, mungkin agar higienis, pikirku. Dia mengangkat tanganku dan meletakkan tanganku di sisi tubuhku. Sementara seorang lagi melakukan hal yang sama pada tangan kiriku. Otomatis payudara dan kemaluanku terekspos.

Lampu gantung mengayun-ayun pelan di atasku, menimbulkan siluet di dadaku yang mencuat. Aku melirik ke bawah, kemaluanku yang polos terpampang indah di hadapan Mbak Rina dan dua orang waitress tersebut. Mbak Rina agaknya terpana memperhatikan tubuhku yang tak ditutupi selembar benangpun. Tubuhku terasa panas, meskipun AC di ruangan itu mengucur kencang.

"Wah, kok nggak dari dulu aja kamu kerja sama mbak."

Aku cuma nyengir mendengarnya.

"Begini ya, mbak jelaskan dulu. Nanti badanmu akan jadi lepek'an Sushi," Mbak Rina menjelaskan dengan logat medhok-nya, sementara dua orang waitress tadi membersihkan bahuku. "Mereka akan langsung makan dari badanmu itu. Tapi tenang saja, mereka ndak dibolehin ngapa-ngapain kamu."

Aku lega mendengarnya.

"Tapi nek ono sing jail, yo aku ora iso opo-po, paling ya nowel-nowel susumu sikit, hehehe...,"

Aku mengernyitkan kening, kurang jelas menangkap maksud Mbak Rina sebab payudaraku sedang dibersihkan oleh dua orang waitress tadi. Mataku terpejam saat tisu basah itu bergerak berputar-putar mengelilingi bukit kembarku. Geli. Putingku kembali menegang. Birahiku kembali memuncak saat tisu basah itu menuruni perutku, pelan-pelan mendekati gundukan mulus di bawah perutku. Aku menggigigt bibir bawah ketika salah seorang dari mereka membersihkan bagian luar kewanitaanku.

"Ummmmmh...," aku melengguh pelan.

"E... maaf ya, mbak," katanya sambil tetap membersihkan bibir kemaluanku dengan seksama.

"Haaah... haaaah..." Punggungku melengkung dan dadaku seketika membusung sebagai reaksi pertama ketika jadinya bergerak membelai bagian tubuhku yang paling intim. Aku melirik pelan ke arah waitress tersebut, ternyata ia sedang mengusap-usap klitorisku. Ia tersenyum dan melirikku penuh arti.

Tubuhku menegang hebat. Hampir saja aku orgasme jikalau sang waitress tidak melanjutkan membersikan bagian paha dan kakiku.

Saat aku melirik ke Mbak Rina, kulihat dia salah tinggkah, tatapannya nanar, napasnya sedikit memburu.

"Em... Ehem... Eva... tak tinggal sik, yo...," Mbak Rina buru-buru meninggalkan ruangan seperti orang yang kebelet pipis.

Dua orang waitress itu akhirnya selesai membersihkan tubuhku, lalu mereka mohon diri. Sesaat kemudian datang seseorang yang berpakaian ala Chef Jepang, setelan putih-putih beserta ikat kepala putih. Membawa nampan berisi potongan-potongan ikan beraneka warna. Mas Chef, kita sebut saja begitu.

"Selamat malam," kata Mas Chef, seorang laki-laki, kutaksir usianya 35 tahun. Tampan. Dengan cambang tipis yang mengingatkanku pada artis Rio Dewanto.

"E... e... malam...," jawabku kikuk. Aku spontan menutupi dada dan kemaluanku di hadapan lawan jenis.

"Baru pertama kali, ya?" ia mencoba mencairkan suasana. Tampangnya cool seolah sudah biasa melihat pemandangan seperti ini.

"I-iya...," jawabku malu-malu. Wajahku memerah, baru kali ini ada laki-laki yang melihatku telanjang bulat. Perasaanku campur aduk antara malu tapi juga erotis di saat yang sama.

"Oke. Saya mulai sekarang, ya," Mas Chef menyusun nori, rumput laut Jepang di atas pusarku. Ia membentuknya menyerupai bunga.

"Mas sudah lama kerja begini?" aku memberanikan bertanya.

"Oh, kalau jadi koki sudah lama, tapi kalau yang begini baru tahun lalu ikut pelatihan di Jepang," katanya sambil meletakkan udang yang dibalut sejenis nasi di atas nori berbentuk bunga tadi.

"Memang di sini sudah lama ya? Menyediakan 'menu' seperti ini?"

"Ah enggak, saya ini chef angkatan pertamanya... mmmm sebentar, ya.... Jangan ngomong dan jangan gerak dulu," katanya. Saat ini dia sedang meletakkan sejenis udang di atas kemaluanku. Terasa dingin saat udang tersebut di menyentuh kulitku, aku refleks bergerak sehingga udang tersebut terjatuh ke selangkanganku.

"Wah, jangan gerak-gerak, mbak!" Mas Chef mengambilnya dengan sumpit.

"Maaf. Habis geli, mas," aku minta maaf. Sementara tangannya mencari-cari udang yang jatuh tepat di pangkal pahaku. "Ahhh!!" erangku pelan saat tak sengaja ia menyenggol belahan vaginaku.

"Ah... maaf-maaf... ditahan sebentar, ya...," ia meletakkan udang tersebut pelan-pelan di atas daerah pubisku yang mulus. Wajahnya yang tampan sangat dekat sehingga aku bisa merasakan napasnya yang hangat di antara selangkanganku. Aku melirik sedikit, wajahnya terlihat sangat serius.

"Yah, inilah resiko pekerjaan, mbak.... Pokoknya kalau geli ditahan saja. Nanti sushi-nya jatuh-jatuh." Ia menambahkan potongan ikan salmon dan tuna di sekitar bikini area, di atasnya di tambahkan daun untuk hiasan. Aku hanya bisa menggigit bibirku, menahan geli yang tak tertahankan.

Mas Chef pindah ke atas kepalaku, ia menyusun nori seperti bentuk perahu di atas payudaraku. Lalu dia atasnya ia hendak meletakkan potongan salmon, tapi terjatuh karena bentuk payudara yang membulat. Keningnya mengernyit, ia mengambil potongan tersebut dan mencoba meletakkannya kembali. Kali ini wajahnya yang tampan berada sangat dekat dengan wajahku, napasnya terdengar jelas di telingaku. Aku jadi semakin berdebar-debar.

"Wah, grogi bener ni mbaknya," Mas Chef tersenyum melihat wajahku yang tegang. Ya Tuhan, ganteng sekali.

"Iya, mas... baru pertama kali..."

"Wajar. Saya juga grogi waktu pertama kali."

"Maksud saya, saya baru pertama kali... telanjang di depan cowok...," aku berkata dengan wajah bersemu.

"Ow... cowokmu?"

"Belum punya...," jawabku malu-malu.

"Ow ow... I see...," katanya sambil meletakkan telur ikan di perutku. "Pokoknya nanti rileks saja, mbak merem saja," ia menambahkan beberapa potongan buah di tubuhku.

Mas Cheff memandangi tubuhku yang telanjang, ia terlihat puas dengan hasil karyanya.

"Welldone, sudah selesai... okay... saya tinggal dulu, ya..." ia pun keluar. Bersamaan dengan itu Mbak Rina masuk ruangan, ia memandang takjub tubuhku yang penuh dengan potongan sushi dan sashimi.

"Yummy..., mbak jadi laper... pengin makan kamu, nih, hihihihi...," canda Mbak Rina sambil mencolek payudaraku.

Aku cuma bisa tersenum kecut, agak sulit berbicara dengan tumpukan sushi di atas tubuhku.

"KLIK!!" Mbak Rina mengambil fotoku dengan ponselnya. Wajahku seketika berubah merah padam. Malu sekali rasanya! Aku ingin mengejarnya, tapi saaat ini aku hanya pasrah tidak bergerak

"Tamunya sudah datang, kamu siap-siap, ya..."

Aku hanya mengangguk.

Mbak Rina keluar ruangan, sesaat kemudian dia datang bersama enam orang laki-laki yang berpakaian rapi. Mbak Rina mempersilahkan mereka duduk mengelilingiku. Wajahku panas, hatiku bergejolak. Malu, tapi juga erotis sekali rasanya. Tidak bisa kujelaskan sensasinya telanjang bulat dan berpasang-pasang mata memperhatikan tubuhku. Dadaku berdebar-debar, kemaluanku mulai basah.

Aku tidak jelas mendengarnya, tapi salah satu dari mereka bernama Sakamoto san, seorang pria paruh baya dengan rambut putih beruban. Sementara seorang lagi bernama Ryusuke san, yang ini seumuran Mbak Rina, mungkin eksekutif muda.

Seorang waitress masuk untuk menghidangkan sake. Sekilas Ryusuke san memperhatikan tubuhku yang halus. Sesaat kemudian Mbak Rina mempersilahkan mereka menikmati hidangan, sebelum akhirnya keduanya undur diri.

Mereka menuangkan sake dan mulai minum-minum sambil tertawa-tawa dan bercanda satu dengan yang lainnya dengan bahasa Jepang.

Sakamoto san mempersilahkan teman-temannya makan. Hatiku semakin berdebar-debar. Seorang dari mereka mengambil sushi yang ada di lenganku dengan sumpit, mencelupkannya ke dalam soyu (kecap asin Jepang) dan memakannya dengan lahap. Seorang lagi mengambil ikan dan dan nori yang menutupi dadaku dengan tangan. Sepertinya ia sengaja menyenggol payudaraku. Puting susuku yang sudah mengeras kini terekspos jelas. Birahiku semakin bergejolak.

Ryusuke san mengambil tuna yang menutupi kemaluanku dan mencelupkannya ke dalam wasabi (sambal Jepang). Kulihat matanya tak berkedip memandangi kemaluanku yang polos tanpa bulu. Bulu kudukku meremang, kemaluanku semakin basah. Ryusuke san berkernyit, mungkin ia menyadari kilapan di bagian tubuh yang paling intim. Eksekutif muda itu kemudian mengambil udang di kemaluanku, kali ini ia memasukkan udang tersebut di belahan vaginaku sambil tersenyum.

"Hmmmmh....," aku memejamkan mata ketika potongan daging itu bergerak membelah himpitan rapatku yang licin, sebelum Ryusuke san memasukkan udang yang dibasahi cairan cintaku itu ke dalam mulutnya. Yang lain tertawa terbahak-bahak melihat pemandangan mesum itu. Tapi Sakamoto san menegur koleganya, menyuruhnya agar lebih sopan.

Tamu-tamu Jepang itu bercanda dan bernyanyi sambil minum-minum sake, aku hanya bisa diam dan menahan birahi yang bergejolak.

Aku terkejut saat seorang dari mereka tiba-tiba memakan potongan ikan yang menutupi perutku langsung dengan mulutnya. Mungkin sudah mabuk tak lama kemudian yang lain ikut-ikutan melakukan hal yang sama.

Aku melengguh ketika seorang dari mereka mengambil tuna yang menutupi puting kiriku dengan bibirnya, malah sengaja mengulum puncak dadaku yang mengeras.

"Teishi! (stop)" Sakamoto san berusaha mencegah, tetapi sepertinya ia terlalu mabuk sehingga terjatuh di atas tatami,

"Jangan tuaaaan... jangan tuaaaan... aaaaha.... Aaaaaaah....," aku menahan teriakanku karena Ryusuke san memakan salmon yang ada di kemaluanku. Ia sengaja menjatuhkan sepotong di selangkanganku, maka kepalanya masuk di antara kedua pahaku dan mencari potongan itu. Aku merasakan napasnya yang panas dan lidahnya yang menari-nari di atas bibir vaginaku.

Melihat pemandangan itu, teman-temannya ikut menggila, seorang langsung melumat daging di payudara kiriku berikut putingnya, sementara seorang lagi kini sibuk menyusu di payudara kanan. Aku menggeliat gelisah ketika seorang yang berkepala plontos mulai berani menciumi wajah dan leherku. Aku merasa dilecehkan tapi juga menikmati saat lima orang asing itu menggerogoti tubuhku. Perut, payudara, leher, dan kemaluanku semuanya habis dilumat mereka.

"Tuaaaan... jangaaaaan... saya... saya... aaaah... aaaaaah...," kakiku mulai mengangkang, dan mataku terpejam rapat ketika Ryusuke san mulai memasukkan jarinya ke dalam liang kawinku, mengocoknya pelan. Tubuhku seketika kejang-kejang. Aku hampir orgasme.

Tiba-tiba pintu diketuk. Para tamu terkejut. Mas Chef berbicara dengan bahasa Jepang kepada Sakamoto san. Tamu yang terlihat paling senior itu melirik marah ke arah 5 orang koleganya. Sepeninggam Mas Chef dan Mbak Rina, Sakamoto san mengomeli mereka dengan bahasa Jepang. Mereka terutama Ryusuke San hanya bisa menunduk.

Sakamoto san berkata agar aku duduk di sebelahnya. Potongan daging yang menutupi tubuhku sudah habis, aku beringsut duduk dan menutupi bagian intim tubuhku dengan tangan.

"Do yo supik enggurisu?" ('Do you speak english', maksudnya)

"Y-yes...," jawabku.

"I'm aporogisu for my staffu behavior...."

"Don't mind it, sir,"

"You are so biutifuru..."

"Emm... thank's..."

"You reminds me to my gurandohturu..."

Lama kami bercakap cakap, ternyata Sakamoto san ini adalah pengsuaha dari Jepang yang sedang menangani proyek pengadaan air bersih di kabupaten Gunung Kidul.

Setengah jam lamanya mereka di situ sambil ngobrol-ngobrol. Suasana mulai cair sehingga aku tak lagi menutupi bagian tubuhku dengan tangan. Aku hanya menikmati tatapan mereka yang sesekali melirik tubuhku yang kini tak tertutupi apa-apa. Birahihu kembali memuncak, ingin sekali rasanya aku masturbasi di hadapan mereka, tapi rasanya aku belum segila itu....


"Suramat maram... sampai jurumpa lagi," pamit Sakamoto san dalam bahasa Indonesia.

Mereka keluar ruangan diantar Mbak Rina. Seorang waitress membersihkan tubuhku dengan tisu basah, seorang lagi memawakanku kimono. Badanku terasa lemas, aku mengenakan kimono itu ala kadarnya, sampai-sampai tali di bagian pinggang lupa kuikatkan.

Pikiranku terasa kosong. Aku berjalan lunglai keluar ruangan, kimono yang kukenakan tidak kuikat sempurna sehingga bagian depan tubuhku terpampang jelas. Beberapa waitress dan karyawan hotel yang lewat di lorong terkejut melihatku setengah telanjang. Sudahlah, toh dari tadi aku sudah telanjang. Kunikmati pandangan mata seorang room boy pada dadaku yang menyembul dari balik kimono, sementara seorang cleaning service mencuri-curi lihat ke arah kemaluanku yang polos.

"Eva!" kudengar Mbak Rina menyusulku dari belakang. "Good job!" lanjutnya sambil menepuk pundakku.

Aku memasuki kamar ganti. Aku langsung menjatuhkan tubuhku pada sofa panjang di sana. Aku mengatur napasku yang belum selesai memburu, sementara kimono yang kukenakan terjuntai di samping tubuhku. Payudaraku yang mengacung terlihat jelas oleh Mbak Rina.

"Makasih banyak ya, Va...," kata Mbak Rina sambil duduk di sampingku.

"Sama-sama, mbak...," jawabku pelan.

Aku benar-benar lemas malam itu. Aku merebahkan kepala di pangkuan mbak Rina, dia membelai rambutku.

"Mbak sudah tertolong banget..., nanti kalau ada tamu lagi, mbak minta tolong kamu, boleh nggak?"

"Boleh..."

"Makasih ya, Eva sayang..."

Aku menoleh ke arahnya, tersenyum manis. Ia membelai pipiku, aku memejamkan mataku, menghirup dalam-dalam aroma tubuh Mbak Rina, harum sekali.

Napasku mulai memburu, tidak terasa kemaluanku kembali basah tidak karuan. Pelan-pelan aku menggerakkan tanganku dari payudara, turun ke perut sampai akhirnya tiba di atas kemaluanku yang polos. Aku melengguh pelan merasakan ujung jariku menyentuh bagian lembab di bawah sana.

"Nggak apa-apa, Eva sayang...," bisik Mbak Rina lembut seolah sudah mengerti apa yang ingin aku lakukan. Sekilas aku meliriknya, cantik sekali.

"E-eeeh? Beneran nggak apa-apa?" aku menggamit tangannya yang membelai pipiku.

Mbak Rina mengangguk "Iya... mbak tahu kamu pasti sudah tegang sekali dari tadi..."

Aku menekan kemaluanku dari luar sambil memejamkan mataku.

Aku mengusap vaginaku, memainkan bibirnya yang basah. Aku menghela napas panjang, sensasi ini baru pertama kali kruasakan, telanjang bulat dan bermasturbasi di pangkuan orang yang kusayang. Birahiku semakin membuncah.

Aku meraba-raba klitorisku, memainkannya dengan ujung jari. Dadaku yang telanjang naik turun seiring napasku yang memburu.

Mulutku mengangga tapi tak bersuara. Kenikmatan ini tidak bisa kubayangkan sebelumnya. Mataku menatap nanar ke arah Mbak Rina, bisa kulihat wajahnya memerah, dan napasnya yang mulai tidak teratur.

Tangan Mbak Rina pelan-pelan turun membelai dadaku. Aku memegang tangannya menuntunnya ke arah puting susuku yang menegang.

Mataku terpejam saat Mbak Rina memainkan puncak dadaku. "Mbaaaaak.... Aaah..... enakh bangeth....." kocokan jari di vaginaku semakin kencang, tubuhku begerak tidak karuan. Kimono yang kukenakan tidak lagi menutupi tubuhku.

Tangan Mbak Rina meremas-remas payudaraku, sementara tangan yang satunya memelukku erat.

"Aahhhhh... mmmbak Riiiiinnnn... Evaaa.... Eva... sampeee....," aku meracau tidak jelas, pahaku tertekuk ke depan dada. Aku merasakan kemaluanku berkedut-kedut. Aku memeluk Mbak Rina erat sekali.

"Haaaaah... hah... ha...," Napasku terenggah-enggah. Aku merasakan ada yang keluar dari kemaluanku. Mbak Rina memelukku, mengecup keningku yang berpeluh.

Untuk sesaat, aku terbaring tanpa busana di pangkuan Mbak Rina. Ia memelukku, membelai rambutku, hangat, seperti seorang ibu yang memeluk anaknya.

Aku mengatur napasku yang memburu, peluh membasahi seluruh tubuhku.

"Makasih ya, mbak....," ujarku lemah.

"Iyaaa Eva sayaaaang...," jawab Mbak Rina. Bisa kurasakan hatinya masih penuh dengan birahi.

"Eeee.. permisi Bu Rina, ditunggu sama Pak Bob," tiba-tiba seorang karyawan sudah berdiri di depan pintu.

Aku spontan meraih kimono yang tergeletak di bawah untuk menutupi tubuhku seadanya. Karyawan itu melirik bagian samping dadaku yang mengintip.

"Eh.. E-eh... i-iya... sebentar lagi saya ke sana," kata Mbak Rina sambil berusaha mengendalikan dirinya. Mbak Rina mengambil napas panjang, sebelum beranjak ke arah pintu.

"Eva, mbak tinggal dulu, ya... sudah malam. Kamu pulang saja dulu. Masalah honornya tenang saja. Beres."

Mbak Eva dan karyawan itu pergi meninggalkanku. Aku melemparkan kimono itu ke bawah. Aku masuk ke ruang shower dan mandi. Setelah berpakaian aku meninggalkan ruangan. Seorang wanita berpenampilan kantoran menghampiriku.

"Selamat malam, Eva. Terima kasih atas bantuannya, ya," ia tersenyum ramah sambil menyerahkan amplop berlogo Hotel tersebut.

"E... sama-sama, mbak," aku tersenyum.


Aku memacu motorku melewati remang lampu jalan Monjali. Hari sudah malam dan bertambah dingin. Di kiri jalan kulihat warung yang menjual susu segar masih buka. Aku mampir sebentar memesan roti bakar dan susu jahe hangat.

Aku membuka amplop tadi dan melihat 10 lembar uang seratus ribuan.

Wow, batinku.

Tiba-tiba ponselku bergetar. 1 pesan diterima. Dari Mbak Rina.

"BESOK ADA TAMU DARI KOREA. TOLONG LAGI YA, EVA SAYANG^^"

Wah, bisa kaya nih.. SUHU DOMINO




1 comment: